Posts

Showing posts from 2015

Cuci tangan dan antibiotik

Image
Pekan kepedulian antibiotik (antibiotic awareness week) memang baru berakhir kemarin. Tapi semangat untuk tetap menjalankan pesan-pesannya jangan sampai padam. Misalnya saja yang sudah dibuatkan oleh WHO, bagi para petugas kesehatan. Meskipun khusus ditujukan bagi para health workers, tapi pesan ini bisa dikerjakan oleh banyak kalangan. 1. Cuci tangan adalah kebiasaan yang sangat penting. Periha ... l hand hygiene ini ternyata terbukti ampuh menyelamatkan nyawa. Kok bisa? Satu poin penting yang sering kita bahas terkait antibiotik adalah kuman (bakteri) yang sudah resisten alias kebal terhadap antibiotik jenis tertentu. Tangan yang terkontaminasi bakteri resisten bisa menjadi media perantara pindahnya kuman dari satu orang ke orang lainnya. Misalnya saja sehabis bersentuhan dengan pasien yang di kulitnya terdapat bakteri stafilokokus yang sudah resisten terhadap beberapa jenis antibiotik, lalu petugas kesehatan ini tidak mencuci tangannya lalu menangani pasien lainnya, maka pasien la

Rubella jangan dianggap biasa saja

Akhir-akhir ini tulisan saya banyak berkisah tentang penolakan terhadap imunisasi. Mudah-mudahan saja yang baca tidak bosan. Alasannya memang 1 bulan terakhir kasus-kasus yang saya temui terkait dengan penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi. Misalnya saja satu kisah seorang ibu dengan 5 anak. Ia dan suaminya yang sudah paruh baya membawa anak kelimanya yang masih batita. Rubella. Itu diagnosisnya ketika saya melihat ruam-ruam merah di kulitnya. Saya jelaskan bahwa penyak ... it ini tidak membahayakan si anak. "Imunisasinya lengkap?" tanya saya. Pertanyaan ini mulai otomatis terlontar ketika berhadapan dengan ibu-ibu berhijab dan bergamis lebar (mohon maaf, tidak bermaksud menggeneralisir). Si ibu mulai tersenyum salah tingkah, sambil melirik suaminya. "Anak ini tidak diimunisasi sejak lahir." Jawaban yang paling tidak saya harapkan hari itu. Jadi dari kelima anaknya, empat orang yang teratas sudah menjalani imunisasi rutin. Tapi si batita yang berjarak ja

Kehilangan satu nyawa sudah terlalu banyak untuk kami

Buat kami para dokter, kehilangan satu saja nyawa pasien yang diamanahkan kepada kami untuk merawatnya, adalah kehilangan yang besar. Satu nyawa sudah terlalu banyak untuk kami. Itu sebabnya kami demikian gigih mengampanyekan upaya pencegahan penyakit bagi masyarakat. Imunisasi adalah salah satunya. Karena kami paham benar bahwa imunisasi sudah mencegah kehilangan banyak nyawa. ... Kami melihat sendiri betapa menderitanya mereka yang kejang-kejang menahan sakit di sekujur tubuhnya karena tetanus. Padahal penyakit ini bisa dicegah dengan vaksin. Kami membayangkan penderitaan mereka yang mengalami tetanus berat sampai membutuhkan alat bantu napas (ventilator) atay tak sadarkan diri, ketika kami merawat mereka. Kami mengetahui penderitaan anak-anak yang mengalami difteri hingga harus dilubangi saluran napas atasnya (lewat bagian bawah leher, yaitu trakeostomi), padahal penyakit ini bisa dicegah dengan vaksin. Bayangkan juga kesusahan keluarga yang harus menemani anaknya dirawat s

Tanya-jawab kontroversi vaksin MMR dan autisme

-- Apakah vaksin menyebabkan autisme? Singkatnya: tidak. Karena sudah banyak sekali penelitian yang membuktikannya. Misalnya saja penelitian-penelitian yang dilakukan oleh CDC untuk membuktikan tidak adanya hubungan antara MMR dengan autisme. 1. Penelitian berjudul “A Population-Based Study of Measles, Mumps, and Rubella Vaccination and Autism” oleh Kohort dipublikasikan oleh Jurnal New England Journal of Medicine (Nov 2002; 347:1477-82). Penelitian yang dilakukan di Danish Study, Denmark ini memantau lebih dari 500 ribu anak selama 7 tahun lebih dan tidak menemukan hubungan antara Vaksin MMR dan autisme. 2. Penelitian berjudul “Age at First Measles-Mumps-Rubella Vaccination in Children With Autism and School-Matched Control Subjects: A Population-Based Study in Metropolitan Atlanta” ini dipublikasikan oleh Jurnal Pediatrics (Feb 2004; 113(2):259-66) sebagai studi kasus-kontrol. Dalam penelitian ini, data diambil melalui Metropolitan Atlanta Developmental Disablities Surveillance P

Demam lebih dari 3 hari harus diperiksakan ke laboratorium?

Image
Topik ini sepertinya sudah lebih dari sekali saya bahas, dalam thread yang berbeda. Tapi tak apalah, karena masih banyak yang bingung juga. Demam yang didefinisikan sebagai suhu tubuh lebih dari 38 derajat selsius, adalah salah satu penyebab tersering orangtua membawa anaknya ke dokter. Makanya dalam beberapa tulisan terdahulu, saya menyebutkan istilah "fever phobia". Nah, lalu bagaimana dengan demam yang cenderung suhunya berkisar di atas 39 derajat selsius dan tidak disertai gejala penyerta lain? Tidak ada batuk, pilek, atau diare. Ya, kalau sejak awal demam disertai batuk dan pilek, kita sudah dapat memperkirakan penyakitnya adalah selesma (common cold) dan seharusnya tidak ada kekhawatiran lebih lanjut (ingat, selama tidak disertai tanda kegawatan ya!). Lalu bagaimana dengan demam yang tidak jelas diagnosisnya ini? Perlukah dibawa segera ke dokter? Kapan? Apakah patokannya " tepat 3 hari" alias 72 jam? Dan haruskah segera diperiksakan laboratorium? Demam den

Perlukah pemberian obat cacing sebagai pencegahan cacingan pada anak?

Ya, mungkin kita teringat saat masih SD dulu, ada slogan yang menyebutkan "minumlah obat cacing tiap 6 bulan untuk mencegah cacingan". Lalu saya juga teringat suatu saat ketika guru menyuruh kami mengumpulkan contoh tinja yang diambil di rumah, untuk dibawa ke sekolah, sebagai bentuk pendataan angka kecacingan (infeksi cacing pada anak) saat itu. Masih berlakukah slogan itu untuk anak-anak kita saat ini? Pe ... rlukah kita rutin memberikan obat cacing bagi anak-anak kita yang masih belum mengenal pentingnya kebersihan? Anak-anak yang cenderung memasukkan tangannya ke dalam mulut saat bermain, tanpa mencuci tangan terlebih dulu? Saya lalu melakukan penelusuran ke beberapa sumber. Kesimpulannya: - Saat ini masih ada daerah-daerah di Indonesia yang dianggap endemis kecacingan (angka penderita cacingan nya tinggi), dan ada yang sudah tidak endemis lagi. Silakan tanyakan ke Puskesmas setempat, masuk ke dalam kategori apa daerah Anda. Jakarta sendiri, tempat saya tinggal, tid

Inilah 3 kesalahan yang bisa terjadi ketika membaca petunjuk penggunaan parasetamol bagi anak!

Image
Hampir semua orangtua tahu apa yang namanya obat penurun panas alias antipiretik bagi anaknya. Salah satunya adalah parasetamol atau asetaminofen. Bisa dikatakan, antipiretik adalah adalah satu "obat wajib" yang harus tersedia di rak obat di rumah. Orang dewasa pun menggunakannya. Siapa yang anaknya tidak pernah mengalami demam? Parasetamol dalam sediaan cair pun menjadi bekal tiap orangtua di rumah. Tapi apakah semua orangtua tahu cara pakainya? Cukup dengan membaca saja petunjuk penggunaan di kemasan karton atau botol kaca/plastik yang ada? Warung serba ada di pinggir jalan pun menjual bebas obat ini, tanpa membutuhkan resep dokter. Coba simak botol atau karton kemasan parasetamol di rak obat Anda. Benarkah aturan pakai parasetamol seperti di bawah ini? Di bawah 2 tahun: gunakan parasetamol drops 2-6 tahun: gunakan parasetamol syrup Di atas 6 tahun: gunakan parasetamol forte Ada tiga (3) hal yang harus dipahami semua orangtua sebelum menggunakan parasetamol. 1.

Bolehkah terlambat memberikan antibiotik pada infeksi bakteri?

"Dok, saya mau minta second opinion." Seorang ibu menyampaikan maksudnya. Ia ditemani suaminya, m embawa anaknya yang masih batita. "Anak saya sudah dua minggu diare. Saya sudah membawanya ke dokter, dan diberi antibiotik. Saya kurang sreg memberikan antibiotik tersebut. Makanya saya bertanya ke Dokter. Ini hasil laboratoriumnya." Kertas yang disodorkannya di hadapan saya menunjukkan tidak ada yang abnormal. Lekosit dan eritrosit pada tinja masih dalam batas normal. Amuba juga tidak ditemukan. Si Ibu menceritakan bahwa obat mentronidazol yang didapatkannya belum diminumkan. Antibiotik ini memang ditujukan untuk mengobati disentri amuba. Padahal hasil lab tidak menunjukkan hal serupa. Setelah memeriksa anaknya dan berdiskusi beberapa hal, saya menyampaikan beberapa poin yang cukup sering saya katakan pada orangtua. "Bu, anak yang mengalami diare dan muntah, hal terpenting adalah: orangtua dapat mengenali anaknya DEHIDRASI atau tidak. Sebenarn

Pembesaran kelenjar getah bening, normalkah?

Ibu muda beranak satu ini tampak cemas. Putranya yang berusia 2 tahun asyik bermain di ruang periksa. Tidak tampak sakit sama sekali. "Seminggu ini saya meraba benjolan di leher anak saya. Ada beberapa, sekitar empat buah, tersebar di kanan-kiri. Bahaya tidak?" Si Ibu bertanya. "Sedang batuk-pilek?" tanya saya lagi. "Sudah sembuh. Sekitar 2 minggu yang lalu." Pertanyaan saya sudah terjawab, batin saya dalam hati. Saya yakin mayoritas Anda sudah bisa menjawab, apa benjolan yang dikeluhkan sang Ibu. Ya, benar. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB). Lalu apakah pembesaran KGB ini wajar? Bukankah kanker KGB ditandai dengan pembesaran di awal? Begitu juga kemungkinan tuberkulosis (TB) kelenjar? Haruskah dicek laboratorium? Periksa ronsen dada? Tes Mantoux? Dan masih banyak pertanyaan lain yang mungkin muncul. Semua orang memiliki KGB. Pada anak-anak, pembesaran KGB lebih mudah teraba, bahkan sampai terlihat. Apa penyebabnya? Macam-macam.

Overdiagnosis alergi dan dermatitis atopi pada anak

Posting tadi pagi tentang baby acne dan milia ternyata memunculkan beberapa pertanyaan terkait al ergi. Ternyata sulit ya membedakan kedua hal yang wajar itu pada bayi dengan alergi? Atau dalam pengalaman sehari-hari, tidak sedikit yang didiagnosis dokter sebagai alergi. Alergi itu sangat luas. Dan ada satu alergi yang secara spesifik saya tangkap dari semua komentar: alergi makanan. Lebih spesifik lagi: alergi susu. Hmmm, ternyata kurang spesifik: alergi protein susu sapi! Yaa, alergi makanan itu sangat luas. Bagaimana mendiagnosisnya? Dengan "skin test" (Prick) alias uji kulit? Atau pemeriksaan darah (kadar IgE RAST)? Ternyata jawabannya adalah: kedua tes tersebut bukanlah uji yang paling akurat untuk menentukan diagnosis alergi makanan! Lalu apa tes alergi terbaik? Ialah uji "eliminasi-provokasi". Apa maksudnya? Ketika seorang anak "dieliminasi" makanan yang dicurigai mencetuskan alergi (misalnya saja makanan yang mengandung protein sus

"Saraf" atau "sawan"?

Familiar dengan istilah di atas? Di Jakarta, sebagian orangtua yang datang membawa bayinya untuk kontrol menanyakan apakah bayinya mengala mi "saraf" atau "sawan". Hehe, serem ya istilahnya? Sebutan ini ditujukan untuk "bruntusan" yang sering dijumpai pada bayi baru lahir. Saya tidak tahu apa istilahnya bagi orang Jawa, Sunda, dan lainnya. Mereka bertanya: apakah ini kondisi yang wajar? Bolehkah memberikan bedak atau losion bayi? Dalam bahasa Inggris, ada beberapa istilah yang bisa mewakili. 1. Baby acne. Biasa dijumpai pada bayi usia beberapa minggu sampai bulan. Bentuknya adalah beruntusan, seperti di gambar, dan menuju pada istilah "saraf" atau "sawan", biasanya dijumpai di pipi, sekitar hidung, sampai sepanjang sisi dahi. Warnanya cenderung dominan kemerahan, dan kadang sangat banyak, sehingga Orangtua khawatir. Penyebabnya dipikirkan karena kadar hormonal ibu yang ditransfer lewat plasenta selama kehamilan yang

Telinga perlu dibersihkan?

"Dok, telinga anak saya bau. Saya khawatir ada infeksi. Bagaimana cara membersihkannya?" "Saya sudah rutin membersihkan telinga anak saya dengan "korek kuping" (cotton bud). Tapi anak masih tetap saja menggaruk-garuk telinganya. Perlukah saya bawa ke dokter THT?" Inilah beberapa pertanyaan yang sering ditanyakan orangtua terkait kondisi telinga anaknya. Jika dirangkum, ini pertanyaan besarnya: perlukah telinga anak dibersihkan? Jawabannya adalah: tidak. Haahh, benar? Nanti malah jadi bau dan berpotensi infeksi dong. Mari kita kembali kepada filosofi: mengapa Allah menciptakan kotoran kuping alias serumen? Dalam banyak tulisan sebelumnya, saya menjelaskan hal-hal semacam lendir, ingus, batuk, pilek, mencret, muntah, dan demam yang sering dianggap musuh sebenarnya diciptakan dengan tujuan baik. Begitu juga dengan kotoran telinga. Serumen berfungsi menjaga telinga kita dari berbagai serangan kuman, sehingga organ ini tetap sehat. Bahkan ke

Seputar Penis Bayi dan Balita

Anda baru saja memiliki bayi laki-laki, padahal tiga anak sebelumnya adalah perempuan. Bingung dengan organ pembeda di kemaluan ka kak-kakaknya? Bertanya saja pada sang ayah. Hehehe, belum tentu ia pun fasih merawat penis bayinya. Berikut adalah beberapa hal yang sering ditanyakan dan jawabannya. 1. Menyunat bayi saat baru lahir? Ah tidak! Tidak tega. Kakek-neneknya pun tidak setuju. Kasihan, masih kecil, kata mereka. Ayahnya saja disunat saat kelas 4 SD. (Ngomong-ngomong, pada usia berapa Anda dikhitan?) Nanti saja saat sudah mengerti dan bisa memutuskan sendiri. Sekaligus bisa diadakan "selametan", kata Ayahnya. Mana yang lebih baik sebenarnya, menyunat saat masih bayi kecil atau menunggu besar saja? Khitan atau sunat alias sirkumsisi tidak hanya sekedar tindakan medis yang memiliki manfaat pada laki-laki. Tapi ada latar belakang budaya (siapa yang disunat menjelang SMP, orang Padang, Sunda, atau Jawa?  ), agama, dan tentunya indikasi medis. Penelitian y

Dokter Mengobati Pasien, Tidak Mengobati Hasil Laboratorium

Katanya Demam Berdarah Dengue alias DBD sedang mewabah ya? Bagaimana dengan "tipes" alias demam tifoid? Karena kabarnya ada beberapa yang dirawat akibat DBD dan demam tifoid bersamaan. Mungkinkah? Ini pertanyaan favorit saya buat para Koas yang sedang menjalankan rotasi di bagian Anak. Apa pasalnya? Beberapa orang bercerita dirinya didiagnosis DBD dan tifoid bersamaan gara-gara: tes Widal! Banyak orang familiar dengan pemeriksaan laboratorium satu ini. Katanya kalau Widal-nya positif, berarti sakitnya tipes. Ketahuilah bahwa diagnosis demam tifoid dipastikan dengan beberapa hal: 1. Gejala. Ya, namanya saja demam tifoid, jadi yang sedang sakit pasti bergejala demam. Nah, demamnya seperti apa? Ada yang bilang seperti "step ladder", jadi makin lama hari sakitnya, maka ambang suhunya makin tinggi. Tapi ternyata tidak harus seperti ini. Yang menjadi kata kunci demam tifoid adalah: demamnya mininal 7 hari! Beda kan dengan DBD yang sudah bisa dicurigai

Lagi-lagi tentang RUM

Berhubung sejak pagi kepala saya dipenuhi dengan kata "RUM" alias rational use of medicine, saya jadi ingin menyampaikan suatu hal (mohon maaf bila ada yang tidak berkenan). Let's say....there's a hospital that many people labeled it as a "RUM"-hospital. Well that might be. But now....hmmm Saya lagi-lagi hanya ingin bilang: teruslah belajar, sebagai orangtua, bagi anak-anak kita khususnya. Orangtua adalah sosok yang paling bertanggung jawab terhadap kesehatan anak-anaknya. Mu ngkin banyak orangtua yang ingin mendapatkan dokter yang "RUM" buat anaknya. Kalaupun harus dirawat, orangtua ingin anaknya dirawat di RS yang "katanya" dikenal RUM. Tapi faktanya: tidak. Kondisi di lapangan tidak selalu seperti apa yang diharapkan. Fakta yang ada tidak selalu ideal. Maka salah satu solusi yang tersisa adalah: jadilah orangtua yang "RUM" dulu bagi anak-anaknya. Pelajari apa kondisi yang mengharuskan segera ke dokter, kapan

Tinja Steril

Seorang Ibu membawa anaknya yang berusia 18 bulan ke seorang dokter, karena sudah 3 hari diare. Sebelum menemui dokter untuk konsultasi, si ibu berinisiatif memeriksakan tinja anak ke laboratorium. Saat berhadapan dengan dokter, ia menunjukkan hasil lab tersebut. "Wah, ada bakteri di tinja anak Ibu. Saya berikan antibiotik ya..." kata dokter. "Kenapa dikasih antibiotik, Dok?" tanya si Ibu. "Karena ada infeksi bakteri. Kalau infeksi bakteri kan obatnya antibiotik." jawab dokte r. Merasa tidak puas, si Ibu mendatangi dokter anak yang lain keesokan harinya untuk second opinion. Ia menceritakan hasil pemeriksaan dengan dokter sebelumnya. "Bu, kalau tinja steril, tidak ada bakterinya, barangkali sudah jadi suguhan di meja makan." tanggap dokter ini sambil tersenyum. Saya yang menulis kisah ini pun ikut tersenyum. (Thanks to my friend who gave me this "fictious" story wink emoticon )

Radang Tenggorokan

Seorang ibu membawa anaknya yang berusia 18 bulan ke dokter karena sudah demam 3 hari disertai batuk dan pilek. Suhunya mencapai 39 derajat selsius, sehingga ia khawatir. Saat dokter memeriksa, si anak menangis kuat dan meronta. "Ada radang tenggorokan Bu. Tenggorokan anaknya merah. Saya kasih antibiotik ya," jelas dokter setelah selesai memeriksa si anak. Karena tidak yakin dengan diagnosis dokter, si ibu mencari second opinion ke dokter lain. "Bu, selama manusia hidup, ya tenggorokannya pasti merah," jelas dokter lain ini setelah memeriksa si anak.

Being Mortal

"Dokter kadang merasa telah melakukan yang terbaik untuk pasiennya. Dokter melakukan pemeriksaan selengkap mungkin dan memberikan terapi yang terbaik. Tapi belum tentu pasiennya merasakan hal yang sama. Bisa jadi pasiennya justru merasakan sebaliknya. Ia malah merasakan tidak "happy" dengan tindakan dokternya. Di sisi lain, dokter malah "tidak melakukan apa-apa" dan pasiennya malah merasa puas dengan apa yang sudah dokter "lakukan"." Kira-kira itu pernyataan yang saya simpulk an dari pembicaraan dr. Akhilles, seorang konsultan senior di bidang perawatan paliatif dari Singapura. Apa maksudnya? Di dalam bidang perawatan paliatif, yang identik dengan merawat pasien-pasien stadium terminal (seringnya kanker) yang "tidak bisa diapa-apakan lagi", dokter sudah tidak lagi memberikan pengobatan kemoterapi atau radioterapi, atau pembedahan, atau tindakan lain yang sekiranya dikerjakan ataupun tidak, maka tidak akan mengembalikan ko

Sekilas Kejang Demam

Akhir pekan lalu, dalam satu hari saya mendapatkan 3 anak berusia 2-4 tahun yang datang ke IGD dengan kejang demam. Semuanya dirujuk untuk dirawat. Berbahayakah kejang demam? Apakah harus dirawat? 1. Secara garis besar, ada 2 kondisi yang ditandai dengan kejang disertai demam, yaitu: - kejang demam, yang umumnya tidak merusak otak sama sekali, dan - infeksi susunan saraf pusat (SSP), yang sering saya bahasakan sebagai "infeksi otak", dan sangat potensial merusak otak 2. Apa bedanya? Kejang demam adalah kejang yang disebabkan oleh demamnya (suhu > 38 derajat selsius). Sedangkan infeksi SSP yang ditandai dengan kejang dan demam, penyebab kejangnya adalah infeksi kuman (virus/bakteri/lainnya) di dalam SSP. Infeksi ini juga ditandai dengan gejala demam. 3. Bagaimana membedakannya? Kejang demam paling lama berhenti sendiri dalam 15 menit (jarang sekali sampai selama ini). Setelah kejang anakpun kembali sadar dengan sendirinya. Pada infeksi SSP seperti meningitis dan

Tiga Alasan Menolak Imunisasi

Bila merunut pada alasan mengapa orangtua tidak mau anaknya diimunisasi, sebenarnya pemikiran "anti-imunisasi" atau "anti-vaksin" bukanlah satu-satunya penyebab. Saya menyimpulkan ada tiga hal utama yang saya jumpai di ruang praktik. 1. Orangtua khawatir anaknya mengalami demam setelah diimunisasi. Faktor ini pula yang masuk dalam analisis survei Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 oleh Kemenkes, yang saya kutip di buku saya "Pro Kontra Imunisasi". Pada kenyataannya,  kadang orangtuanya bersedia anaknya diimunisasi, tetapi sang nenek yang tidak mau dengan alasan ini (mungkin karena si ibu bekerja ya, jadinya si nenek yang harus menghadapi rewelnya cucu ketika demam. Hehe). Padahal faktanya demam belum tentu terjadi setelah imunisasi (hanya imunisasi DPT yang paling tinggi potensi demam pasca imunisasi, meskipun tidak selalu, dan ini hanya satu dari sekian banyak vaksin lain yang jarang "buat demam"). Demam yang terjadi juga biasanya h

Alhamdulillah alaa kulli haal

Mungkin saat ini Anda sedang sedih karena anak Anda sedang mengalami demam sudah dua hari. Suhunya mencapai 40 derajat selsius. Ia terbaring lemah, tidak mau makan. Dokter barusan menyatakan harus dirawat inap. Anda pun berpikir "pindahkan saja penyakit anakku ini. Biar aku saja yang mengalaminya". Ya Tuhan, kenapa anakku harus sakit? Mungkin pikiran ini terlintas di dalam benak. Cobalah mampir ke tempat kami di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Anda dapat menjumpai seorang anak perempuan berusia 10 tahun dengan berat badan hanya 15 kg. Ya, gizi buruk. Awalnya ia mengalami tuberkulosis (TB) paru yang putus pengobatannya. Ibunya telah meninggal beberapa tahun lalu. Ayahnya sibuk mencari nafkah sebagai kuli bangunan, sehingga kadang sulit mencari waktu untuk kontrol berobat anak semata wayangnya. Selama menunggui anaknya dirawat di RS, si ayah tidak bekerja. Sewa kontrakan rumahnya sudah 2 bulan tidak dibayar. Temui juga seorang gadis berusia 8 tahun dengan gizi buruk lainny

Mengapa jangan puyer?

Sepertinya untuk sebagian orangtua puyer masih menjadi obat andalan yang diharapkan bisa diresepkan oleh dokter saat berobat. Kalau obatnya sirup, ngapain musti ke dokter spesialis anak? Kan bisa beli sendiri di apotek. Kadang tanpa resep bahkan. Sudah berobat ke bidan dan dokter di Puskesmas belum sembuh juga, masa' berobat ke dokter spesialis masih dikasih obat sirup juga? (Diriku yang kadang bingung menghadapi orangtua yang "memaksa" minta obatnya berupa puyer racikan, sup aya anaknya cepat sembuh) Apa pelajaran yang bisa diambil? 1. Edukasi dan kampanye rational use of medicine (RUM) yang pertama kali digulirkan WHO harus terus dikerjakan 2. Edukasi bahwa memang berobat ke dokter pastinya supaya anaknya cepat sembuh (siapa orangtua yang tidak ingin anaknya cepat sembuh), tetapi yang terpenting menjelaskan bahwa tiap penyakit punya "perjalanan alamiah"-nya sendiri-sendiri, sehingga lama sembuhnya bervariasi. Maka bersabarlah... 3. Jangan memiliki pola p

Sedikit tentang diare

Sebagai panduan sesuai guideline WHO dan yg biasa saya praktikkan: bila diarenya akut dan tidak disertai darah (berlendir sekalipun), maka umumnya tidak butuh antibiotik. Tapi bila diare disertai darah (namanya disentri), dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh bakteri/amuba dan antibiotik dipertimbangkan. Sebenarnya perlu/tidaknya pemberian antibiotik bukanlah hal  yg paling urgen, tetapi yg paling urgen adlh: dehidrasi atau tidak? Makanya semua orangtua harus mengenali tanda-tanda dehidrasi dan penanganannya. Kalau boleh berbagi pengalaman di lapangan, anak-anak yang dirawat di RS dengan dehidrasi sekalipun mayoritas penyebabnya adalah virus yang sama sekali tidak butuh antibiotik dan anak sembuh tanpa antibiotik. Mayoritas hasil pemeriksaan analisis tinja pada pasien-pasien diare anak di RS juga hasilnya tidak dicurigai infeksi bakteri. Selamat belajar

Mengapa saya masuk ke dunia edukasi kesehatan masyarakat

Salah satu alasan yang membuat saya tertarik untuk masuk ke dunia edukasi konsumen kesehatan (dalam hal ini orangtua pasien) adalah: orangtua yang tidak paham dasar ilmu kesehatan anak berpotensi "menzalimi" anaknya. Lho kok bisa? Bayangkan ketika anak demam tiga hari, disertai batuk-pilek, dan diagnosis sebenarnya adalah selesma (common cold), yang kita sepakati akan sembuh seiring waktu. Tapi orangtua yang panik, khawatir anaknya mengalami demam berdarah, lalu berinisiatif  memeriksakan darah anaknya ke laboratorium, hasilnya? Anak harus ditusuk jarum, disakiti, padahal tidak seharusnya ia diperiksakan darahnya. Contoh lain adalah salah satu orangtua, misalnya si ibu, sudah cukup paham dasar ilmu kesehatan anak, karena sudah ikut milis kesehatan semacam Milissehat Sehat  ( http://groups.yahoo.com/group/sehat ), rajin baca www.milissehat.web.id , dan pernah ikut  Pesat LimabelasJakarta , sehingga tidak mudah panikan dan tahu kapan harus ke dokter. Tapi sang suami tidak

A note from a journalist

Yang saya tahu, jurnalis atau wartawan itu ada dua: yang meliput langsung ke lapangan dan menuangkan hasil pengamatannya ke dalam tulisan dan yang sekedar "manteng" di depan monitor dan mengutip sana sini hasil bacaannya untuk dijadikan tulisan. Tipe yang pertama adalah yang saya gunakan saat menulis buku kedua saya: Pro Kontra Imunisasi. Saya tidak sekedar manteng di depan komputer mencari bahan tulisan, atau baca buku dan jurnal saja, tapi saya harus bertindak sebagai seora ng "real journalist". Karena ini yang diajarkan saat saya masih aktif di lembaga jurnalistik mahasiswa saat kuliah kedokteran dulu. Maka saya menyambangi PT Bio Farma di Bandung untuk melihat langsung proses pembuatan vaksin dan mewawancarai vaksinolog senior di situ. Saya mendatangi Badan POM RI di Percetakan Negara untuk mewawancarai seorang Deputinya untuk mendapatkan informasi bagaimana vaksin sampai bisa beredar di Indonesia. Saya mendatangi Subdit Imunisasi Kementerian Kesehatan untuk

Kisah Rokok

Satu hal yang tidak saya suka dari angkutan umum adalah potensi adanya orang merokok di dalamnya. Tapi seringkali saya tidak punya pilihan, sehingga menjadikan kendaraan ini sebagai sarana transportasi sehari-hari. Berbagai upaya sudah saya lakukan ketika menjumpai para perokok di dalam angkutan ini, mulai dari membuka seluruh jendela di bagian belakang secara mendadak untuk menunjukkan ketidaksukaan saya, menegurnya langsung, sampai turun dari angkot. Alhamdulillah tidak sam pai terjadi kekerasan fisik sejauh ini. Dari komentar status yang saya unggah beberapa waktu lalu, kaum ibu ternyata kesulitan mendapatkan tanggapan mematikan rokok dari orang-orang yang ditegurnya. Mungkin para pria perokok ini meremehkan para wanita yang menegurnya? Di sisi lain saya sering mendapatkab ibu-ibu yang membawa anak-anaknya di dalam angkot tampak cuek saja duduk bersama para penumpang pria perokok lain. Saya menilai mereka sudah terbiasa dengan asap rokok di rumahnya, mungkin dari suaminya sendir

Di balik kuning, demam, batuk, pilek, diare

Batuk, pilek, mencret, bahkan sampai kuning pada bayi dan "tali lidah" pun ternyata Allah ciptakan bukan tanpa tujuan. Kadang kita mengeluhkan ketika diri kita atau anak kita sakit. Demam hingga anak rewel dan tak kunjung tidur semalaman. Pilek dan hidung mampet sampai bayi gelisah tidurnya. Batuk sehingga si kecil terjaga semalaman. Sedih sekali. Mengapa Allah ciptakan semua penyakit ini? Bahkan ketika bayi baru lahir sekalipun, ada sebagian yang mengalami kuning. Saya yaki n ada di antara Ibu/Bapak yang pernah bayinya mendapatkan terapi sinar (fototerapi), karena kadar bilirubin darahnya melampaui batas. Jika tidak "disinar", maka bilirubin akan melampaui ambangnya dan masuk menembus sawar darah-otak, menyebabkan kejang alias kern icterus! Bayi berisiko cacat permanen. Tahukah Anda, ternyata kuning pada bayi baru lahir pun ada tujuannya. Meskipun masih menjadi perdebatan, beberapa pakar menyimpulkan keadaan bilirubin darah yang lebih tinggi dari seharusnya