Friday, January 19, 2018
Apakah sabun antiseptik lebih baik dibandingkan sabun biasa?
Tuesday, January 16, 2018
Infeksi Virus atau Bakteri?
Dua hari ini si kecil demam. Suhunya 39 derajat selsius, dan hidungnya mampet. Hampir sepanjang hari ia batuk. Ibu membawanya ke dokter dan mendapatkan obat. Ternyata salah satunya antibiotik. Haruskah diminum?
Masih ingat kapan pertama kali anak Anda mengalami demam? Saat masih bayi? Apa perasaan Anda saat itu? Panik, bingung, atau tetap tenang sambil berpikir langkah pertama yang harus dilakukan? Sebagian dari Anda mungkin pergi ke dokter dan mendapatkan penjelasan sakitnya disebabkan oleh infeksi. Apakah infeksi itu? Yaitu masuknya kuman ke dalam tubuh, dan bisa menimbulkan sakit atau tidak. Tergantung dari daya tahan tubuh. Kuman atau mikroorganisme berukuran sangat kecil dan tidak dapat dilihat oleh mata telanjang, tetapi justru merupakan penghuni terbesar alam semesta ini. Jenisnya bermacam-macam, tetapi yang paling sering menyebabkan penyakit pada manusia adalah virus dan bakteri. Bagaimana membedakan keduanya?
Pertama, kita harus mengenali apakah virus dan bakteri itu. Bakteri adalah makhluk hidup bersel satu, yang ada di berbagai tempat di muka bumi. Di permukaan tanah hingga kedalamannya, di permukaan air hingga kedalaman laut, bahkan di udara. Tubuh makhluk hidup pun, termasuk manusia, dihuni oleh berbagai jenis bakteri. Para peneliti mendapatkan fakta jumlah bakteri penghuni tubuh manusia ternyata sepuluh kali lipat lebih banyak dibandingkan jumlah sel penyusun tubuh manuaia! Jika ada 10 trilyun sel penyusun tubuh manusia, maka ada 100 trilyun bakteri penghuni tubuh manusia! Nah, dengan jumlah bakteri sebanyak ini, dan mendiami tubuh manusia sejak bayi dilahirkan dan menampakkan diri untuk pertama kalinya ke dunia ini, mengapa manusia jarang sakit? Karena bakteri-bakteri ini baik! Ya, mayoritas bakteri yang ada di dalam semesta, termasuk di tubuh manusia adalah penghuni “alami” dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Keseimbangan bakteri di alam menjaga keseimbangan hidup makhluk hidup. Bakteri di usus besar manusia misalnya, menjaga agar saluran pencernaan kita bekerja baik, mampu mencerna makanan secara wajar, tidak sembelit, dan menghasilkan vitamin K yang berfungsi dalam pembekuan darah. Hanya kurang dari 10% bakteri yang dapat menyebabkan sakit pada manusia.
Berbeda halnya dengan virus. Virus sebenarnya bukan makhluk hidup, karena ia tidak dapat hidup mandiri di luar sel makhluk hidup. Virus ada di mana-mana, dan dapat menghuni seluruh sel hidup di alam, seperti tumbuhan, hewan, bahkan bakteri pun bisa dihinggapi oleh virus. Virus menyebabkan sakit pada manusia dengan cara mengambil alih fungsi sel di tubuh dan merusak kerjanya. Ternyata mayoritas penyakit pada manusia disebabkan oleh infeksi virus.
Kedua, untuk mengetahui apakah penyebab penyakit ini adalah virus atau bakteri tentunya dengan mengidentifikasi kuman penyebabnya. Misalnya dengan mengisolasi virus atau bakteri dari jaringan atau sel tubuh yang sakit, lalu mengenalinya di laboratorium. Tetapi ini tentunya bukan hal yang mudah, karena membiakkan virus dan bakteri bukan tindakan laboratorium yang sederhana, lalu sangat sedikit fasilitas laboratorium yang mampu melakukannya, dan membutuhkan biaya sangat tinggi serta seringkali menyakitkan bagi manusia (melakukan biopsi jaringan misalnya). Maka seiring perkembangan ilmu kedokteran selama berabad-abad dan makin banyaknya penyakit yang dikenali, mengetahui diagnosis suatu penyakit dapat menentukan apakah penyebabnya infeksi virus atau bakteri.
Sebagai contoh. Ketika seseorang didiagnosis selesma alias batuk dan pilek (seperti ilustrasi di awal tulisan) atau common cold, maka jelaslah bahwa penyebabnya infeksi virus. Selesma dan penyakit sejenisnya bernama influenza (flu) yang merupakan infeksi saluran napas atas, disebabkan oleh infeksi virus. Mungkinkah ternyata penyebabnya infeksi bakteri? Jika ternyata penyakit menjalar ke saluran napas dan menyebabkan pneumonia (radang paru), maka bisa jadi penyebabnya infeksi bakteri. Bagaimana membedakan selesma atau flu, dengan pneumonia? Ada tanda dan gejala yang bisa dibaca di banyak sumber, dan pemeriksaan dokter memastikan diagnosisnya. Maka jangan pernah lupa: tanyakan kepada dokter apa diagnosisnya (dalam bahasa medis/kedokteran, bukan bahasa awam). Pemberian terapi atau obat menyesuaikan dengan diagnosis. Ketidaksesuaian antara diagnosis dan terapi tentu dapat menimbulkan keraguan.
Beberapa diagnosis penyakit tersering dan penyebabnya ada dalam gambar.
Ketiga, infeksi virus tidak diobati dengan antibiotik (antivirus pun diberikan hanya pada sebagian kecil penyakit berat). Umumnya daya tahan tubuh yang akan memulihkan penyakit akibat infeksi virus, seiring waktu. Infeksi bakterilah yang membutuhkan antibiotik. Apabila seseorang didiagnosis penyakitnya akibat infeksi virus lalu ia diberikan antibiotik, maka diagnosis atau terapinya harus dipertanyakan.
Keempat, kebanyakan penyakit akibat infeksi virus sifatnya ringan dan anak masih dapat beraktivitas atau tampak ceria. Sedangkan infeksi bakteri yang bergejala berat dan tidak segera diberikan antibiotik dapat berakibat fatal, bahkan kematian. Maka sebelum mengetahui apa diagnosis suatu penyakit, maka hal terpenting bagi seluruh orangtua adalah: mengenali tanda-tanda kegawatan yang mengharuskan segera ke dokter/rumah sakit. Misalnya:
Maka di era informasi yang sangat mudah didapatkan lewat ponsel cerdas, bekalilah diri dengan ilmu kesehatan dari situs-situs terpercaya, seperti www.idai.or.id, www.milissehat.web.id, www.kidshealth.org dan www.who.int Selamat belajar!
Tulisan pernah dimuat di Rubrik Tumbuh Kembang Majalah Ummi yang ditulis oleh dr. Arifianto, Sp.A
Tuesday, August 09, 2016
Beda infeksi virus dengan bakteri
Bagaimana membedakan infeksi virus dengan infeksi bakteri?
Posting saya pekan lalu tentang antibiotik bukanlah obat demam lagi-lagi mengundang pertanyaan: bagaimana membedakan infeksi bakteri dengan virus? Mengingat antibiotik diberikan untuk infeksi bakteri, bukan infeksi virus. Sebenarnya pembahasan hal ini sudah pernah saya tulis, tapi tak apa-apa, saya coba paparkan lagi dalam bentuk poin-poin.
- Cara paling ideal membedakan keduanya tentu dengan melihat langsung mikroorganisme penyebabnya dengan mikroskop, yaitu virus atau bakteri. Tapi ini perkara yang tidak mudah, tidak bisa dikerjakan di semua tempat, mahal, dan banyak kendala lainnya. Tapi pada sebagian kecil kasus, "menangkap" dan mengidentifikasi kuman harus dilakukan. Misalnya dengan melakukan pemeriksaan kultur (biakan) dari darah (atau urin, dan cairan tubuh lainnya), pemeriksaan langsung (dahak untuk mencari kuman TB), atau biopsi jaringan tubuh.
- Pada sebagian besar kasus, mengetahui apakah infeksinya virus atau bakteri ialah dengan mengetahui apa diagnosisnya? Seringkali dengan wawancara (anamnesis) dan pemeriksaan fisik saja, diagnosis sudah dapat diketahui. Jika belum, pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan radiologi dilakukan. Makanya penting sekali keluar dari ruang dokter, seseorang tahu apa diagnosisnya. Bagaimana caranya? Ya tanya ke dokternya. Diagnosis haruslah dalam bahasa medis, seperti beberapa yang saya tulis di gambar. Tidak boleh ada diagnosis "geje" alias ga jelas seperti "radang tenggorokan", "flek paru", "tampek", dan sejenisnya.
Mengetahui bahasa medis ini akan diperjelas lagi dengan membaca-bacanya di situs terpercaya seperti www.medscape.com, www.webmd.com, dan www.mayoclinic.com
Apabila ada ketidaksesuaian antara diagnosis dengan terapi, maka tanyakan ke dokter yang memeriksa. Jangan bertanya ke dokter online. Hehe :-D
- Masih ada beberapa penyakit yang belum dijelaskan di gambar ini. Tapi saya berusaha menyampaikan yang tersering saja. Supaya tidak terlalu bingung, kapan antibiotik perlu diberikan dan kapan tidak.
Semoga bermanfaat
Infeksi virus kok dikasih antibiotik?
"Anak saya dikasih antibiotik? Bukankah sakitnya karena virus? Kok dapat antibiotik?" tanya seorang Ibu, sambil menatap putrinya yang berusia 4 tahun. Ingus kental berwarna hijau kekuningan. Matanya merah. Sudah 4 hari suhunya di atas 38 derajat selsius.
"Iya, untuk mencegah infeksi bakteri," jawab seseorang di hadapannya.
Pernah mendapatkan situasi serupa? Ketika antibiotik diberikan dengan alasan "mencegah infeksi bakteri". Ketika ingus dan lendir sudah berubah warna, dari bening dan encer menjadi kental dan kehijauan. Seingat saya, dulu saya pernah punya pemahaman yang mirip. Apabila ingus sudah mengental dan berwarna, maka tandanya sudah terjadi infeksi bakteri. Ternyata saya salah. Selama ingus masih diproduksi, apakah kental sampai membuat hidung mampet, atau masih encer meskipun sudah berwarna, maka jika diagnosisnya adalah infeksi saluran napas atas yakni common cold atau selesma dan/atau influenza, maka tetaplah infeksi virus yang tidak membutuhkan antibiotik. Tidak butuh antibiotik sama sekali!
Penjelasan di gambar yang ada menyimpulkan keterlibatan sel-sel darah putih sebagai penyebab ingus mengental dan berwarna. Dan ini bukti bahwa sistem imun alias daya tahan tubuh kita bekerja dengan baik! Maka bersyukurlah.
Lagipula, keberadaan bakteri baik penghuni saluran napas adalah hal yang wajar. Dan mereka tidak membuat sakit. Penyebab sakitnya adalah virus. Dan infeksi virus jelas tidak butuh antibiotik.
Lalu kapan antibiotik diberikan pada infeksi saluran napas atas? Panduan (guideline) yang saya sertakan gambarnya di bawah menyebutkan 3 kondisi yang dipertimbangkan pemberian antibiotik, yaitu: otitis media akut.(infeksi telinga tengah), sinusitis (jarang sekali dipikirkan pada balita), dan radang tenggorokan akibat bakteri streptokokus (strep throat). Perbedaan ketiganya bisa dibaca di situs kesehatan seperti www.milissehat.web.id
Maka jika diagnosis anak Anda tidak masuk dalam ketiga hal ini, tanyakan kembali: perlukah antibiotik? Meskipun "sekedar" sebagai "pencegahan" saja.
Nah, ngomong-ngomong tentang antibiotik sebagai pencegahan atau profilaksis ini, bahasannya tersendiri. Apakah perlu pasca sunatan/sirkumsisi diberikan antibiotik? Luka jahitan diberikan antibiotik sesudahnya? Bahkan perlukah pemberian antibiotik pasca operasi sesar? Hmmm, mudah-mudahan diberikan kemudahan membahasnya kelak.
Monday, August 08, 2016
Pakai "tanganmeter" atau termometer?
Ibu-ibu ini (Bapak-bapak juga) memang harus selalu diingatkan, agar tidak pakai "tangan-meter" untuk menentukan anaknya sedang demam atau tidak. Karena berdasarkan pengamatan saya, penggunaan tangan-meter, alias meraba dahi/badan anak dan menyimpulkannya demam, tanpa termometer, sering menyebabkan "diagnosis" demam yang berlebihan, dan berujung pada pemberian obat penurun panas (antipiretik) yang sebenarnya tidak/belum perlu.
"Dok, anak saya sudah 3 hari demam. Nggak ada gejala lain. Makanya saya bawa ke dokter."
"Berapa suhunya?" tanya saya.
"Nggak diukur pakai termometer."
(*tepok jidat)
Lalu ada aja alasannya. Anaknya nggak bisa diam dan berontak kalau dimasukkan termometer ke ketiak lah. Termometernya pecah lah. Sampai memang nggak punya termometer. Hehe.
Atau sebaliknya. "Anak saya anget Dok. Suhunya 37 derajat. Jadi saya kasih parasetamol."
"37 derajat mah nggak demam, Bu. Di atas 38 baru demam," jawab saya lagi.
Padahal demam kita ketahui tujuannya baik: menciptakan suasana kondusif bagi tubuh agar virus dan bakteri tidak mudah berkembang biak. Dengan kata lain, demam bertujuan membuat tubuh kita lekas sembuh!
Don't treat low grade fever! Begitu nasihatnya. Antipiretik diberikan jika anak sudah menjadi rewel dan tidak nyaman karena demamnya.
Friday, August 05, 2016
Lagi-lagi tentang antibiotik
"Oke deh. Batuk-pilek alias selesma obatnya cuma SABAR. Tapi setelah 2 minggu anak saya batuk-pilek, terus dapat antibiotik, alhamdulillah langsung sembuh. Berarti kalau mau cepat sembuh bisa dengan minum obat dong?"
Pernah mengalami hal serupa? Dalam pengamatan saya, kondisi di atas namanya adalah koinsidens (coincidence) alias kebetulan. Lha kok bisa?
Ini alasannya:
- infeksi virus obatnya bukan antibiotik
- anak ini kebetulan pas minum antibiotik, pas saatnya sakitnya menyembuh. Jadi kebetulan terjadi di waktu bersamaan. Makanya dipikirkan adanya hubungan sebab-akibat. Padahal sepertinya tidak ada.
- penggunaan antibiotik terlalu sering dan tidak pada tempatnya meningkatkan risiko sakit. Lho kok bisa? Alasannya:
(1) antibiotik melawan bakteri. ketika ia masuk ke tubuh manusia dan tidak menemukan bakteri jahat untuk dilawan, maka yang diserangnya adalah bakteri baik di seluruh tubuh manusia, terutama di usus besar (koloni terbesar). Padahal bakteri baik ini menjaga tubuh kita tetap sehat. Walhasil terjadilah mencret (diare).
(2) bakteri baik tak berdosa yang diserang ini akan memperbaiki sistem pertahanannya, sehingga kelak di kemudian hari ketika ia diserang antibiotik, ia tidak mudah dikalahkan. Terciptalah bakteri super alias superbug, yang bisa jadi kebal terhadap berbagai macam antibiotik. Ketika bakteri ini berubah jadi jahat dan menyebabkan penyakit, maka antibiotik tidak mempan lagi. Risiko kematian meningkat!
Maka jangan lupa, tiap kali Anda berkunjung ke dokter, tanyakan 4 hal ini:
1. Apa diagnosis sakit saya/anak saya? (dalam bahasa medis, supaya bisa browsing di internet)
2. Jika penyebabnya infeksi, apakah virus atau bakteri? (atau jamur, amuba, dll)
3. Mengapa diberi antibiotik?
4. Apa saja tanda gawat darurat yang membuat saya/anak saya harus segera ke dokter/RS?
Selamat belajar! :-)
Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?
(tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...
-
Pernah menjumpai bercak kemerahan, cenderung berwarna oranye (merah-)?bata) di popok bayi Anda? Bahkan muncul berulang kali! 😱 Normalkah ha...
-
Ternyata tidak pada sebagian besar kasus. Infeksi jamur penyebab sariawan terjadi pada anak-anak dengan daya tahan tubuh menurun, seperti m...
-
Topik ini sepertinya sudah lebih dari sekali saya bahas, dalam thread yang berbeda. Tapi tak apalah, karena masih banyak yang bingung juga. ...