Thursday, August 20, 2015

Bolehkah terlambat memberikan antibiotik pada infeksi bakteri?

"Dok, saya mau minta second opinion." Seorang ibu menyampaikan maksudnya. Ia ditemani suaminya, membawa anaknya yang masih batita. "Anak saya sudah dua minggu diare. Saya sudah membawanya ke dokter, dan diberi antibiotik. Saya kurang sreg memberikan antibiotik tersebut. Makanya saya bertanya ke Dokter. Ini hasil laboratoriumnya."

Kertas yang disodorkannya di hadapan saya menunjukkan tidak ada yang abnormal. Lekosit dan eritrosit pada tinja masih dalam batas normal. Amuba juga tidak ditemukan. Si Ibu menceritakan bahwa obat mentronidazol yang didapatkannya belum diminumkan. Antibiotik ini memang ditujukan untuk mengobati disentri amuba. Padahal hasil lab tidak menunjukkan hal serupa.


Setelah memeriksa anaknya dan berdiskusi beberapa hal, saya menyampaikan beberapa poin yang cukup sering saya katakan pada orangtua.
"Bu, anak yang mengalami diare dan muntah, hal terpenting adalah: orangtua dapat mengenali anaknya DEHIDRASI atau tidak. Sebenarnya di awal perjalanan penyakit, tidak terlalu penting mengetahui ini disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Tidak terlalu penting untuk mengetahui: perlu tidak ya diberikan antibiotik? Lagi-lagi, yang penting adalah: anak saya dehidrasi atau tidak??

Bisa saja diarenya karena infeksi bakteri yang sebenarnya butuh antibiotik, tapi anaknya tidak dehidrasi sama sekali. Lalu kita tidak langsung memberikan antibiotik. Sebaliknya, anak mengalami diare akibat infeksi virus yang sebenarnya akan sembuh dengan sendirinya, tetapi anak ini mengalami DEHIDRASI BERAT. Maka anak yang mengalami diare akibat infeksi virus berisiko meninggal, dan anak yang mengalami diare akibat infeksi bakteri masih terselamatkan!"

Jika pada akhirnya kita kenali bahwa diare ini sebenarnya adalah disentri basiler (akibat infeksi bakteri) atau disentri amuba, setelah dilakukan pemeriksaan tinja atau memang ditemukan darah pada tinja, maka kita harus memberikan antibiotik. Tapi pada kondisi awal, yang menentukan nyawa seorang anak akan selamat atau tidak, maka harus diketahui apakah diare sudah menyebabkan dehidrasi atau belum? Jadi langkah terpenting mengatasi diare adalah: berikan cairan agar anak tidak dehidrasi! Berikan minum sesering mungkin. Pantau produksi kencing anak. Lalu kenali, apakah ada darah atau tidak pada tinja. Tinja tidak berdarah hampir selalu disebabkan oleh infeksi virus yang tidak membutuhkan antibiotik. Jika ada darah pada tinja, maka periksakan ke laboratorium untuk menentukan kemungkinan infeksi bakteri yang butuh antibiotik.

Kasus lain adalah seorang anak yang demam sudah mencapai lima hari. Tidak ada batuk-pilek sama sekali. Hasil laboratorium juga tidak menunjukkan demam berdarah. Orangtua khawatir anaknya sakit tifoid. Perlukah pemberian antibiotik kloramfenikol? Bagaimana jika antibiotik tidak segera diberikan? Bukankah tifoid dicurigai jika demam setidaknya tujuh hari?

Kasus lain yang lebih sering adalah: curiga tuberkulosis (TB) paru. Anak kurus, batuk tak kunjung reda sudah satu bulan, dan nafsu makan turun. Bagaimana jika diberikan saja obat anti TB selama 6 bulan jika foto ronsennya menunjukkan "flek paru"? Atau pastikan dulu dengan sistem skoring, apakah anak saya sakit TB? Lakukan dulu uji tuberkulin (tes Mantoux). Jika perlu second opinion ke dokter lain untuk memastikan diagnosis TB, baru antibiotik diberikan. Bagaimana jika terlambat?

Saat ini penggunaan antibiotik berlebihan sudah memasuki tahap yang mengkhawatirkan banyak pihak (silakan lihat postings pekan lalu), meskipun di tahun 2011 sudah keluar Permenkes (peraturan menteri kesehatan) mengenai panduan umum penggunaan antibiotik. Maka diagnosis harus dipastikan benar untuk dapat memberikan antibiotik. Tapi bagaimana jika antibiotik terlambat diberikan dan mengancam nyawa anak? Bakteri akan berkembang meluas mengalir ke seluruh tubuh.
Ya, ada kondisi-kondisi tertentu antibiotik tidak boleh terlambat diberikan. Pada dua contoh kasus di atas adalah: ketika yang dicurigai adalah meningitis (radang selaput otak) dan perforasi (berlubangnya) usus akibat tifoid, dan meningitis akibat TB. Tentu saja gejala-gejalanya jelas. Anak tampak lemah, terjadi penurunan kesadaran, dehidrasi, dan tanda-tanda kegawatan lainnya.

Atau pada diagnosis lain apapun, ketika anak dicurigai mengalami sepsis, yaitu ketika bakteri sudah mengalir lewat aliran darah menuju seluruh organ, dan risiko kematian tinggi. Ini pun ada proses perjalanan penyakit dan gejala-gejalanya. Begitu juga pada bayi baru lahir yang tanda infeksi bakterinya tidak khas dan sewaktu-waktu dapat mengalami perburukan cepat. Maka antibiotik harus segera diberikan. Dan semua tentu ada panduannya. Inilah kondisi-kondisi ketika antibiotik tidak boleh terlambat diberikan! Pada kondisi kebanyakan ketika anak masih tampak aktif? Baca-baca lagi ya tentang tifoid, TB, ISK, disentri, dan strep throat yang butuh antibiotik.

Pembesaran kelenjar getah bening, normalkah?

Ibu muda beranak satu ini tampak cemas. Putranya yang berusia 2 tahun asyik bermain di ruang periksa. Tidak tampak sakit sama sekali.
"Seminggu ini saya meraba benjolan di leher anak saya. Ada beberapa, sekitar empat buah, tersebar di kanan-kiri. Bahaya tidak?" Si Ibu bertanya.
"Sedang batuk-pilek?" tanya saya lagi.
"Sudah sembuh. Sekitar 2 minggu yang lalu."
Pertanyaan saya sudah terjawab, batin saya dalam hati.

Saya yakin mayoritas Anda sudah bisa menjawab, apa benjolan yang dikeluhkan sang Ibu. Ya, benar. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB). Lalu apakah pembesaran KGB ini wajar? Bukankah kanker KGB ditandai dengan pembesaran di awal? Begitu juga kemungkinan tuberkulosis (TB) kelenjar? Haruskah dicek laboratorium? Periksa ronsen dada? Tes Mantoux? Dan masih banyak pertanyaan lain yang mungkin muncul.

Semua orang memiliki KGB. Pada anak-anak, pembesaran KGB lebih mudah teraba, bahkan sampai terlihat. Apa penyebabnya? Macam-macam. Tapi yang tersering adalah infeksi virus maupun bakteri di saluran napas atas. Misalnya ketika anak mengalami selesma alias batuk-pilek, maka KGB-KGB leher bisa membesar, sebagai bentuk reaksi tubuh melawan kuman. Kita pahami bahwa KGB penuh dengan sel-sel darah putih yang berusaha menghancurkan virus dan bakteri yang masuk. Ketika selesma sembuh, tidak jarang KGB yang sudah terlanjur membesar ini tidak kembali ke ukuran semula yang awalnya tidak teraba. Umumnya diameter sampai 12 mm masih dianggap wajar untuk pembesaran KGB pada anak.

Lalu kapan kita khawatir pembesaran KGB dicurigai sebagai penyakit yang tidak wajar?

Yang harus saya tekankan lagi adalah: semua orang hidup punya KGB! Tetapi ada yang membesar, dan ada yang tidak. Pada anak-anak, pembesaran KGB mayoritas adalah kondisi yang wajar (akibat infeksi sebelumnya). Pada dewasa sebaliknya, jika ada pembesaran KGB, maka harus segera dicaritahu apa penyebabnya?

Kapan pembesaran KGB pada anak harus dianggap mengkhawatirkan?

1. Ketika dicurigai TB Kelenjar. Sebenarnya memastikan diagnosis TB pada anak, termasuk TB kelenjar, tidaklah mudah. Jika ingin dipastikan hampir 100%, maka pemeriksaan yang ideal adalah biopsi jarum halus (fine needle aspiration biopsy/FNAB) untuk mengambil jaringan KGB dan melihatnya di bawah mikroskop. Tetapi ada beberapa ciri yang bisa mengarahkan kecurigaan ini, seperti:
- benjolan berjumlah lebih dari satu dan saling menempel (berkonfluens). Ada yang menyebutnya menyerupai "kalung mutiara". Meskipun tidak harus sama persis seperti ini.
- diameter benjolan cukup besar, lebih dari 10-12 mm
- ada ciri-ciri lain yang mengarah pada TB (silakan cari tulisan lama saya tentang TB pada anak, dan sistem skoring TB)

2. Jika dicurigai kanker KGB, misalnya limfoma, atau penyebaran dari kanker di organ tubuh lain (leukemia, tumor padat lain). Ciri-cirinya antara lain:
- perabaannya keras (KGB pada keadaan normal teraba lunak) dan seringkali tidak tegas batasnya
- pembesarannya bersifat progresif, artinya makin lama makin membesar, bahkan beberapa ukurannya cukup ekstrem (lebih dari 24 mm) dan "menyeramkan". Jumlahnya juga cenderung bertambah
- disertai dengan tanda-tanda keganasan (kanker) lain, seperti pucat (anemia), berat badan makin turun, dan demam berkepanjangan

Ada beberapa kondisi pembesaran KGB yang sebenarnya tidak mengkhawatirkan, tetapi jumlah KGN yang teraba cukup banyak dan bisa mencapai 12 mm, misalnya pada mononukleosis infeksiosa akibat infeksi virus, yang akan sembuh sendiri.

Apakah pembesaran KGB butuh diberikan antibiotik? Ya jika infeksinya bakteri, dan TIDAK jika infeksinya virus (silakan baca threads sebelumnya tentang beda infeksi virus dengan bakteri). Dan faktanya adalah: mayoritas infeksi pada anak adalah akibat infeksi virus.

Kapan curiga pembesaran KGB akibat infeksi bakteri? Misalnya pada strep throat (sudah pernah saya bahas juga) dan adanya infeksi di rongga mulut seperti abses di gusi.

Sekian dulu. Semoga bermanfaat

Overdiagnosis alergi dan dermatitis atopi pada anak

Posting tadi pagi tentang baby acne dan milia ternyata memunculkan beberapa pertanyaan terkait alergi. Ternyata sulit ya membedakan kedua hal yang wajar itu pada bayi dengan alergi? Atau dalam pengalaman sehari-hari, tidak sedikit yang didiagnosis dokter sebagai alergi. Alergi itu sangat luas. Dan ada satu alergi yang secara spesifik saya tangkap dari semua komentar: alergi makanan. Lebih spesifik lagi: alergi susu. Hmmm, ternyata kurang spesifik: alergi protein susu sapi!

Yaa, alergi makanan itu sangat luas. Bagaimana mendiagnosisnya? Dengan "skin test" (Prick) alias uji kulit? Atau pemeriksaan darah (kadar IgE RAST)? Ternyata jawabannya adalah: kedua tes tersebut bukanlah uji yang paling akurat untuk menentukan diagnosis alergi makanan! Lalu apa tes alergi terbaik? Ialah uji "eliminasi-provokasi". Apa maksudnya? Ketika seorang anak "dieliminasi" makanan yang dicurigai mencetuskan alergi (misalnya saja makanan yang mengandung protein susu sapi) maka gejala-gejala yang nampak hilang. Dan ketika "diprovokasi" dengan bahan makanan serupa, maka gejala-gejalanya muncul kembali.

Ada beberapa artikel yang saya "capture" di bawah (ada di Facebook saya). Salah satunya menjelaskan bahwa anak-anak yang sudah didiagnosis alergi berdasarkan pemeriksaan laboratorium ataupun tes kulit, ketika dilakukan "eliminasi-provokasi", ternyata hasilnya berbeda. Anak tidak menunjukkan adanya alergi makanan. Fakta ini lalu memunculkan beberapa penelitian yang menyimpulkan: kemungkinan sudah terjadi overdiagnosis alergi pada anak.

(Lebih detil lagi harus dijelaskan perbedaan alergi yang IgE-mediated dan non-IgE-mediated, tapi saya putuskan untuk tidak saya bahas sekarang)
Lalu bagaimana jika alergi makanan ini bermanifestasi di kulit sebagai dermatitis atopi? Ingat, reaksi alergi makanan tidak "melulu" di kulit, tetapi bisa di saluran cerna (diare, muntah, BAB bercampur darah) dan saluran napas (ini salah satu yang paling ditakutkan: sesak napas!). Bagaimana membedakannya dengan baby acne dan milia yang sudah dibahas?

Nama lain dermatitis adalah eksim/eksema. Penyebab dermatitis atopi seringkali tidak diketahui, dan ini dapat menyulitkan, karena prinsip terpenting penanganan alergi adalah: hindari pencetusnya. Bagaimana pencetus dapat dihindari, jika dikenali pun tidak? Dalam banyak kasus, alergi makanan adalah tersangka utamanya. Sehingga orangtua memantang banyak jenis makanan bagi anaknya. Meskipun pada akhirnya disimpulkan alergi makanan ternyata bukan pencetus dermatitis atopinya.

Bagaimana membedakan dengan baby acne dan milia? Dermatitis atopi dapat terjadi di banyak lokasi, mulai dari wajah, lengan, tungkai, sampai perut dan punggung. Usia termuda adalah beberapa minggu sejak lahir. Jarang dipikirkan muncul sejak baru lahir. Dermatitis atopi juga cenderung gatal, sehingga pada anak yang lebih besar akan terlihat menggaruk.

Prinsip penanganan nomor 1 adalah sebisa mungkin mencari pencetusnya. Lalu pelembab dapat diberikan pada kulit yang kering, lokasi mudah terjadi dermatitis. Pada kondisi meradang dan membuat gatal, krim steroid dapat diberikan, misalnya hidrokotison. Anak yang senantiasa menggaruk dan berpotensi menjadi luka boleh diberikan antihistamin minum. Penanganan lain bisa dibaca di situs-situs kesehatan terpercaya.

"Saraf" atau "sawan"?

Familiar dengan istilah di atas? Di Jakarta, sebagian orangtua yang datang membawa bayinya untuk kontrol menanyakan apakah bayinya mengalami "saraf" atau "sawan". Hehe, serem ya istilahnya? Sebutan ini ditujukan untuk "bruntusan" yang sering dijumpai pada bayi baru lahir. Saya tidak tahu apa istilahnya bagi orang Jawa, Sunda, dan lainnya. Mereka bertanya: apakah ini kondisi yang wajar? Bolehkah memberikan bedak atau losion bayi?

Dalam bahasa Inggris, ada beberapa istilah yang bisa mewakili.

1. Baby acne. Biasa dijumpai pada bayi usia beberapa minggu sampai bulan. Bentuknya adalah beruntusan, seperti di gambar, dan menuju pada istilah "saraf" atau "sawan", biasanya dijumpai di pipi, sekitar hidung, sampai sepanjang sisi dahi. Warnanya cenderung dominan kemerahan, dan kadang sangat banyak, sehingga Orangtua khawatir. Penyebabnya dipikirkan karena kadar hormonal ibu yang ditransfer lewat plasenta selama kehamilan yang jumlahnya masih cukup tinggi pada bayi baru lahir. Sumbatan pada kelenjar minyak akibat lepasan kulit mati bisa menyebabkan munculnya baby acne. Seiring waktu, jerawat bayi ini akan menghilang dengan sendirinya.

2. Milia, bentuknya mirip dengan baby acne, dengan distribusi lokasi serupa, hanya saja warnanya lebih putih dan bisa muncul beberapa saat setelah bayi lahir, sampai beberapa minggu kemudian. Penyebabnya belum jelas, kemungkinan sama dengan baby acne. Tidak diperlukan pengobatan apapun, karena akan menghilang seiring waktu.

3. Cradle cap, berupa sisik-sisik menyerupai ketombe berwarna kekuningan di kulit kepala. Kadang orangtua khawatir dengan bentuknya, jika jumlahnya cukup banyak. Seiring waktu pun akan menghilang.

4. Dermatitis alias eksim. Warnanya kemerahan, cukup sering muncul di kedua pipi, kadang sampai tebal. Orangtua berpikir penyebabnya adalah percikan air susu (ASI). Di awal, kadang sulit dibedakan dengan baby acne, tetapi biasanya muncul setelah usia beberapa minggu/bulan, dan bisa diberikan krim steroid jika mengganggu bayinya.

5. Eritema toksikum neonatorum. Bentuknya paling menyeramkan, karena kulit yang beruntusan atau terkelupas bisa sampai ke bagian badan/lengan/tungkai. Padahal seiring waktu akan hilang.
Perlukah diberikan bedak atau krim/losion bayi untuk semua keluhan ini? Umumnya tidak. Bahkan pemberian kosmetik bayi ini bisa memperberat masalah kulitnya, karena kulit justru menjadi sensitif dan hiperreaktif terhadap paparan kosmetik bayi. Cukup memandikan bayi dan menggunakan sabun yang lembut. Tidak perlu pewangi pakaian bayi yang berisiko membuat kulit menjadi hipersensitif.

Silakan browsing lebih lanjut untuk mencari gambar-gambar terkait.

Telinga perlu dibersihkan?

"Dok, telinga anak saya bau. Saya khawatir ada infeksi. Bagaimana cara membersihkannya?"
"Saya sudah rutin membersihkan telinga anak saya dengan "korek kuping" (cotton bud). Tapi anak masih tetap saja menggaruk-garuk telinganya. Perlukah saya bawa ke dokter THT?"

Inilah beberapa pertanyaan yang sering ditanyakan orangtua terkait kondisi telinga anaknya. Jika dirangkum, ini pertanyaan besarnya: perlukah telinga anak dibersihkan? Jawabannya adalah: tidak.
Haahh, benar? Nanti malah jadi bau dan berpotensi infeksi dong. Mari kita kembali kepada filosofi: mengapa Allah menciptakan kotoran kuping alias serumen?

Dalam banyak tulisan sebelumnya, saya menjelaskan hal-hal semacam lendir, ingus, batuk, pilek, mencret, muntah, dan demam yang sering dianggap musuh sebenarnya diciptakan dengan tujuan baik. Begitu juga dengan kotoran telinga. Serumen berfungsi menjaga telinga kita dari berbagai serangan kuman, sehingga organ ini tetap sehat. Bahkan ketika telinga sering-sering dibersihkan, justru yang terasa adalah gatal. Saya memperhatikan salah satu penyebab anak sering menggaruk-garuk liang telinganya yang justru berisiko menjadi luka adalah akibat terlalu sering dibersihkan.

Nanti kalau tidak dibersihkan, malah telinga anak jadi bau! Apakah yakin makin banyak kotoran telinga akan berarti telinga akan makin bau? Tidak juga. Telinga berbau adalah hal yang wajar. Bau telinga seringkali tidak menandakan adanya kondisi yang membahayakan dan harus segera ditangani. Kondisi yang tidak wajar adalah: ketika telinga menghasilkan cairan atau bahkan darah. Terlepas disertai bau atau tidak.

Lalu, perlukah membersihkan telinga? Tidak, telinga tidak perlu dibersihkan dengan rutin. Bahkan kebiasaan membersihkan telinga dengan cotton bud berisiko melukai telinga dan menyebabkan gangguan pendengaran. Apa sebabnya? Karena cotton bud justru mendorong serumen makin jauh ke dalam dan menghalangi hantaran suara/bunyi di depan gendang telinga. Kotoran telinga, khususnya yang tipe kering, secara alamiah akan terdorong keluar sedikit demi sedikit. Allah sudah menciptakan serumen dengan tujuan baik, maka akumulasinya pun sudah diatur agar tidak menimbulkan masalah pada kebanyakan kondisi.

Kapan kita harus khawatir dengan kotoran telinga yang menyebabkan masalah kesehatan?
Yaitu ketika:
1. Anak tampak sangat kesakitan telinganya
2. Keluar cairan dari telinga (otitis media)
3. Anak mengalami gangguan pendengaran (tampak terganggu pendengarannya)
4. Anak mengeluh bunyi denging atau dengung yang terus-menerus
Inilah saatnya Anda membawa anak ke dokter THT.

Semoga bermanfaat

Seputar Penis Bayi dan Balita

Anda baru saja memiliki bayi laki-laki, padahal tiga anak sebelumnya adalah perempuan. Bingung dengan organ pembeda di kemaluan kakak-kakaknya? Bertanya saja pada sang ayah. Hehehe, belum tentu ia pun fasih merawat penis bayinya.

Berikut adalah beberapa hal yang sering ditanyakan dan jawabannya.

1. Menyunat bayi saat baru lahir? Ah tidak! Tidak tega. Kakek-neneknya pun tidak setuju. Kasihan, masih kecil, kata mereka. Ayahnya saja disunat saat kelas 4 SD. (Ngomong-ngomong, pada usia berapa Anda dikhitan?) Nanti saja saat sudah mengerti dan bisa memutuskan sendiri. Sekaligus bisa diadakan "selametan", kata Ayahnya.
Mana yang lebih baik sebenarnya, menyunat saat masih bayi kecil atau menunggu besar saja?
Khitan atau sunat alias sirkumsisi tidak hanya sekedar tindakan medis yang memiliki manfaat pada laki-laki. Tapi ada latar belakang budaya (siapa yang disunat menjelang SMP, orang Padang, Sunda, atau Jawa?  ), agama, dan tentunya indikasi medis. Penelitian yang cukup kuat menunjukkan sirkumsisi pada usia bayi (sebelum satu tahun) terbukti mengurangi risiko infeksi saluran kemih (ISK). Saya menjelaskan lebih detil di buku saya "Orangtua Cermat, Anak Sehat". Ya, salah satu faktor risiko ISK adalah mengumpulnya bakteri di bawah kulit kulup penis, ditambah faktor lainnya seperti penggunaan popok sekali pakai, yang masuk melalui uretra ke dalam kandung kemih. Nah, sirkumsisi atau khitan membuang kulit kulup penis (foreskin) ini, sehingga risiko ISK menjadi jauh lebih minimal.
Ada kawan yang mengkhitan bayinya sebelum meninggalkan tempat bersalin saat baru lahir, ada yang mengkhitan pada usia bayinya beberapa bulan setelah si bayi mengalami ISK dan diobati, dan anak laki-laki saya sendiri dikhitan saat usianya belum genap 2 bulan.

2. Apakah harus dengan bius umum (tindakan sirkumsisi pada bayi), atau boleh dengan bius lokal? Ada dokter yang tidak mengijinkan bius/anestesi lokal ketika mengkhitan bayi, karena alasannya masih kecil.
Hmmm, sebenarnya tidak ada masalah dengan menyunat bayi, bahkan sejak baru lahir, dengan tindakan bius lokal. Bahkan berdasarkan pengalaman, tindakan pembiusan umum lebih "ribet", karena harus memeriksakan laboratorium lengkap sebelum obat-obat anestesi dimasukkan, ada juga yang meminta pemeriksaan ronsen dada (terjadi paparan radiasi sinar X), dan tentunya biaya yang lebih mahal.

3. Penis bayi kan cenderung sempit kulupnya, sehingga tidak bisa ditarik dan terlihat "kepala"-nya (glans penis). Apakah ini tergolong fimosis? Lalu haruskan rutin ditarik kulupnya saat membersihkannya sambil mandi atau ketika mencebokinya?
Jawaban yang pertama adalah: kalau begitu semua penis bayi fimosis dong?? Padahal seiring bertambahnya usia, foreskin akan melebar dan makin longgar, sehingga bisa ditarik dengan relatif mudah (bagi yang belum disunat).

Bagaimana membedakannya dengan fimosis?

Mari kita lanjutkan.. Umumnya bayi laki-laki terlahir dengan kulup penis (foreskin) yang relatif sempit, sehingga tidak dapat ditarik sampai terlihat seluruh "kepala"-nya (glans penis). Kecuali bayi yang terlahir dengan kelainan seperti hipospadia.
Nah, tentunya tidak semudah itu menyimpulkan seorang bayi fimosis, bukan? Ada yang menyebutkan fimosis jika seiring usia foreskin tetap sulit untuk ditarik sampai membebaskan glans. Ada juga yang mengatakan fimosis ketika ujung penis sering menggelembung terlebih dulu ketika bayi pipis, karena sempitnya ruang untuk memancarkan air seni secara langsung. Dan diagnosis fimosis makin menguat ketika bayi mengalami ISK, apalagi sampai berulang.


Apakah orangtua harus rutin membersihkan glans penis, dengan cara menarik foreskin semaksimal mungkin, untuk mengurangi risiko berkumpulnya bakteri dalam jangka panjang? Ini yang ditanyakan mereka yang belum mau mengkhitan bayinya.
Tidak, jawabannya adalah tidak. Membersihkan penis bayi ya biasa saja, dengan mengalirkan air. Menceboki saat baru pipis dan selagi mandi. Tidak perlu menarik-narik foreskin. Tindakan ini berisiko melukai glans dan foreskin, karena memaksanya meregang. Gesekan dan iritasi bisa terjadi, dan infeksi justru makin mungkin timbul akibat luka. Salah satunya adalah balanitis (peradangan di foreskin dan berpotensi menjadi infeksi bakteri).

Ada yang menanyakan: ia melihat butiran seperti lemak putih/kekuningan di bawah foreskin, dan terjadi berulang-ulang. Apakah ini smegma?
Betul, produk alamiah foreskin ini adalah suatu hal yang wajar ditemui. Pada tindakan sirkumsisi, sebelum memotong foreskin, smegma harus dibersihkan sampai bersih benar, baru foreskin dipotong.

Segini dulu ya

Vitamin Penambah Nafsu Makan

“Dok, anak saya susah makan. Ada vitamin penambah nafsu makan buat anak saya?” Ini adalah pertanyaan yang (sejujurnya) saya hindari. Kenapa?...