Monday, July 19, 2010

Obesitas Mengintai Anakku...

Tulisan lain juga yang pernah dimuat di Femina

http://www.femina-online.com/issue/issue_detail.asp?id=617&cid=2&views=27

Faktor nutrisi menjadi salah satu penyebab utama masalah kesehatan anak di Indonesia. Di satu sisi, banyak anak menderita kekurangan nutrisi, di sisi lain, banyak pula anak yang kelebihan kalori atau obesitas. Keduanya sama-sama mengalami kondisi tidak sehat. Dari penelitian yang dilakukan Masyarakat Pediatri Indonesia pada anak-anak sekolah dasar di 10 kota besar di Indonesia 2002-2005, angka obesitas rata-rata tergolong tinggi, 10%-12,2%. Penelitian serupa yang dilakukan pada anak-anak sekolah dasar di Jakarta pada 2006, malah menunjukkan angka mengejutkan, 9,8% hingga 37%. Masalah obesitas ini tampaknya tidak hanya terjadi di Indonesia. Badan Kesehatan Dunia, WHO, bahkan sudah menetapkan obesitas sebagai epidemik global yang harus segera diatasi.

Celakanya, masih ada pola pikir yang keliru dari para orang tua. Anak yang gendut, montok, dan berpipi chubby masih menjadi kebanggaan sebagian besar orang tua. Padahal, menurut para ahli kesehatan dunia, anak yang obesitas terancam sederet penyakit berat di masa mereka dewasa.

FAKTOR GENETIS ATAU POLA MAKAN?
Melia (32) cemas bukan main. Anaknya, Jerry (8), tak bisa bergaul dengan teman sebayanya. Penyebabnya, Jerry kerap menjadi sasaran ledekan temannya karena bentuk tubuhnya. Beratnya mencapai 60 kilogram, dengan tinggi badan 148 cm. “Waktu Jerry berusia 2 tahun, posturnya masih bagus. Sejak ia dititipkan di rumah neneknya, berat badannya melambung. Ia terlalu dimanjakan neneknya, makan apa saja dibolehkan. Dari kecil, porsi makan Jerry dibiasakan sebesar orang dewasa,” kenang Melia, yang pernah ‘menitipkan’ anaknya selama 2 tahun kepada orang tua untuk kuliah ke luar negeri.

Kasus Jerry termasuk salah satu kasus obesitas pada anak. Menurut ilmu kedokteran, anak yang mengalami obesitas mempunyai kemungkinan 78% obesitas berlanjut pada saat remaja, dan 25%-50% pada saat dewasa. Seperti yang dikatakan ahli gizi, dr. Carmelita Ridwan, SpGK dari Klinik Primavita, Jakarta, “Orang dewasa yang obesitas mempunyai kemungkinan lebih besar untuk menderita penyakit-penyakit yang berhubungan dengan kelebihan berat badan. Antara lain, diabetes melitus, hipertensi, hipokolesterol, stroke, penyakit jantung koroner, kanker usus besar dan payudara, serta risiko kematian dini bila mengalami kegemukan saat remaja dibandingkan dengan orang dewasa yang mengalami obesitas saat dewasa.”

Dokter Arifianto dari Yayasan Orang Tua Peduli, membenarkan hal tersebut. Ia menambahkan, penyakit-penyakit lain karena kondisi obesitas, antara lain saluran napas, asma, sleep apnea (gangguan tidur), dan gangguan ortopedi.

Seperti apa, sih, seorang anak dikatakan obesitas? Cara paling mudah, yakni dengan melihat grafik berat badan yang ada di kartu kesehatan anak. Jika berat anak berdasarkan usia masih berada dalam garis hijau, berarti masih proporsional. Jika sudah di atas garis hijau, berarti menunjukkan kelebihan berat badan yang patut diwaspadai. Definisi WHO menghitung obesitas berdasarkan body mass index (BMI). Rumusnya, berat badan dibagi tinggi badan kuadrat (kg/m²). Disebut obesitas bila dilihat dalam tabel Z score, berdasarkan usia, didapat hasil di atas 3.

Lantas, sejak kapan seorang anak bisa mengalami obesitas? Dokter Arifianto mengatakan, “Bayi baru lahir yang beratnya di atas 4 kilogram bisa dibilang overweight. Jika dirunut, pasti ada yang salah dengan ibunya. Bayi overweight biasanya karena ibunya menderita diebetes melitus tipe 2. Namun, sekarang ada pergeseran tren. Banyak bayi lahir dengan berat di atas 4 kilogram, tapi ibunya tidak terbukti diabetes. Belum ada penelitian lebih lanjut tentang fenomena ini,” ungkapnya. Lebih lanjut, dr. Arifianto menguraikan, anak yang obesitas dari usia 6 bulan, diprediksi akan obesitas pada usia 3 tahun. Anak yang obesitas pada usia 3 tahun, kemungkinan besar akan obesitas di usia remaja.

Baik dr. Arifianto maupun dr. Carmelita mengatakan, faktor genetis memegang peranan dalam menyebabkan obesitas pada anak. Akan tetapi, faktor lingkungan amat besar pengaruhnya. “Kalau faktor lingkungan tidak mencetus, harusnya, meskipun ada faktor genetis, tidak sampai overweight,” ucap dr. Arifianto.

Dokter Carmelita menambahkan, persisnya berapa persen faktor genetis ini berpengaruh, belum diketahui. Tetapi, ada yang menyebut, angkanya kurang lebih 30%. Sisanya, karena faktor lingkungan.

Faktor lingkungan yang dimaksud, kata dr. Carmelita, antara lain pola makan yang mengonsumsi makanan tinggi kalori, misal junk food (burger, french fries, nugget, sosis, dan lainnya), minuman kotak/botol, minuman cepat saji dari sachet, camilan kue dan biskuit manis, serta pola makan yang kurang mengonsumsi buah dan sayur. “Kalau anak makan di restoran fast food, sudah pasti minyaknya banyak. Belum lagi minumnya soda yang bergula tinggi. Terus sayurnya mana? Padahal, sayur dan buah dalam piramida makanan adalah tingkat yang paling besar kedua setelah golongan serealia,” kata dr. Carmelita.

Maka, dr. Carmelita menyarankan, konsumsi sayuran harus selalu ada di menu makan. Begitu juga buah. “Buah yang baik adalah buah potong atau yang di-blender. Bukan hanya sari buah yang berasal dari konsentrat dan tambahan gula,” tutur dr. Carmelita.

WASADA SEJAK ANAK BERUSIA ENAM BULAN
Bagaimana cara mengantisipasi agar anak terhindar dari obesitas? Jawabannya lagi-lagi soal pola makan. Kebiasaan keluarga, pengetahuan serta kepedulian orang tua sangat berperan. “Orang tua harus membiasakan anak makan sayuran dan buah. Untuk itu, orang tua harus memberi contoh. Sebab, anak meniru kebiasaan orang tuanya,” saran dr. Carmelita. Selain itu, orang tua juga sebaiknya membatasi stok jajanan yang terlalu manis, serta snack yang mengandung MSG. Sebagai gantinya, lebih baik menyediakan makanan buatan sendiri, seperti cocktail buah, puding, atau bubur kacang hijau.

Masalah kebiasaan pola makan ini, idealnya, menurut pendapat dr. Arifianto, sudah harus dibentuk sejak anak mulai dikenalkan makanan pendamping ASI (MPASI) di usia 6 bulan. Di usia ini, aktivitas makan bagi anak adalah proses belajar, mengenal berbagai bentuk, tekstur, dan rasa makanan, tanpa perlu sedikit pun memberi tambahan gula atau garam. “Anak belum perlu diberi makan banyak atau nasi 3 kali sehari. Sumber nutrisi utama anak masih dari ASI,” jelas dr. Arifianto.

Kebiasaan memanjakan dan membebaskan anak memilih makanan dan jajanan yang disukai, bukanlah cara bijak. Bukan anak yang menentukan apa yang dimakan, melainkan orang tua. Sayangnya, umumnya para orang tua punya ketakutan berlebihan, jika anak rewel karena permintaan yang tak dituruti atau tak doyan makan sama sekali. Ditambah lagi, adanya dorongan ketidak puasan melihat anak tetangga yang lebih gemuk. Menurut dr. Arifianto, ada fenomena orang tua lebih senang pada anak yang gemuk.

Soal ketidaktegaan ini diakui oleh Rika Martini, ibu dari Azka (4). Menurut Rika, Azka sering minta makan lebih banyak dari yang diberikan. “Kalau Azka minta nambah makan, masa saya larang, kasihan, ‘kan? Biasanya, malah baby sitter-nya yang tega melarang Azka nambah makan,” ujar Rika.

Lain lagi kebiasaan Puti Dewi Oka, ibu dari Redfan (2). Sebagai wirausaha yang punya bisnis sendiri di rumah, kepraktisan terkadang menjadi nomor satu. “Nutrisi memang penting, tetapi menyediakan makanan bernutrisi sehari-hari sangatlah sulit. Apalagi saat di rumah tak ada pembantu yang memasak. Menu anak sama dengan menu untuk orang tuanya, hanya dibuat tidak pedas saja. Kadang-kadang anak menolak sayur. Jadi, kalau dia maunya nasi putih saja, ya, dituruti, yang penting Redfan mau makan,” ujar Puti.

Sisilia Pujiastuti (32) juga pernah menghadapi masalah anak yang tidak mau makan. “Usia 14-16 bulan, Damai pernah susah makan. Saya sampai pusing memilihkan makanan untuknya. Saya sadari, kalau dalam fase itu kita salah mengambil keputusan, mungkin bisa berakibat fatal. Seperti cerita teman saya, ketika dalam fase tersebut anaknya tidak mau makan, dia memberikan fast food. Akhirnya, anak jadi ketagihan sampai sekarang,” ucap Sisil. Pada saat itu, Sisil membelikan Damai sebuah buku dari karakter di serial Sesame Street, Elmo, yang bertema healthy habit, tentang makanan sehat. Perlahan-lahan, Damai pun mau makan sayuran lagi.

PENGARUH TELEVISI DAN VIDEO GAME
Obesitas timbul karena asupan energi dari makanan dan minuman melebihi energi yang dikeluarkan untuk beraktivitas. Dalam hal ini, berlaku hukum termodinamika. “Kalori yang masuk harus sama dengan kalori yang keluar. Obesitas itu akibat dari ketidakseimbangan energi,” kata dr. Arifianto.

Di luar kebiasaan dan pola makan itu, ada faktor penting yang menyebabkan obesitas, yakni kurangnya aktivitas fisik yang membakar kalori. Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktivitas fisik yang rendah dengan obesitas. Keberadaan televisi dan video game yang menjadi ‘berhala’ baru anak zaman sekarang, banyak dituding sebagai faktor pembawa obesitas. Penelitian yang pernah dilakukan oleh G.D. Kopelman terhadap anak Amerika pada tahun 2000 menunjukkan, mereka yang menonton televisi 5 jam per hari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibanding mereka yang nonton televisi 2 jam per hari.

Apa hubungannya? “Anak jadi malas bergerak karena keasyikan nonton teve. Apalagi, kebanyakan iklan di teve isinya menyuruh anak-anak jajan yang tak sehat,” kata dr. Arifianto. Idealnya, menonton teve cukup 2 jam saja sehari. Belum lagi, jika anak sudah mulai kecanduan video game dan internet, aktivitas fisiknya makin jauh berkurang. Untuk anak yang obesitas bahkan disarankan menonton teve kurang dari sejam per hari.

Mengurangi kebiasaan menonton teve ini memang sangat sulit. Hal ini diakui Rika. Selain di sekolah, Azka jarang main di luar rumah. “Azka lebih suka main di kamar bersama mainannya atau nonton VCD. Malah, kalau sedang susah makan, baby sitter biasanya sengaja memutarkan VCD agar Azka mau makan,” jelasnya.
Masalah yang hampir sama juga dihadapi Melia. Meski sudah mengurangi jam menonton teve, setiap akhir pekan, Jerry lebih senang menghabiskan waktu untuk main game ketimbang diajak main ke tempat wisata. “Hari Minggu, Jerry bisa 5 jam main PS atau game komputer,” ujar Melia.

Lingkungan saat ini yang tidak memungkinkan anak-anak bermain di luar rumah, harus diakui, juga menjadi salah satu pemicu aktivitas anak lari ke televisi. Padahal, anak butuh ruang gerak untuk bermain dengan teman sepermainannya. Hal ini bisa disiasati, misalnya dengan mengikutsertakan anak dalam klub olahraga, atau les menari. Cara lain, “Joging di pagi atau sore hari, mengajak anak membantu beres-beres rumah, juga bisa menjadi alternatif murah dan menyehatkan,” kata dr. Carmelita, memberi saran.

Kebiasaan lain yang membuat penurunan aktivitas anak adalah kenyamanan sarana transportasi. Coba diingat, berapa jam dalam sehari anak Anda berjalan kaki? “Orang tua cenderung mengantar anak sekolah dengan mobil, turun langsung di depan gerbang sekolah. Padahal, ada baiknya membiarkan anak jalan kaki setidaknya 15 menit dari jarak mobil ke sekolah,” kata dr. Arifianto.

Bagaimana dengan anak-anak yang sudah telanjur mengalami obesitas? “ Hal yang perlu dilakukan adalah konseling gizi. Hitung berat badan ideal dan kebutuhan kalorinya. Perlu dijaga agar tidak mengonsumsi makanan yang mengandung kalori tinggi, memperbanyak sayur dan buah. Selain itu, aktivitas fisik juga harus diperbanyak. Usahakan agar berat badan anak tidak bertambah, dipertahankan hingga sesuai dengan usia yang seharusnya,” dr. Arifianto menjelaskan.

Ia menambahkan, kecuali ada hal-hal khusus, misalnya anak yang obesitas disertai penyakit tertentu. “Kalaupun harus turun berat badan, penurunan tidak boleh drastis.”

Penulis: Ficky Yusrini

[Dari femina 19 / 2010]

Batuk Mengamuk

Salah satu tulisan yang mengambil narasumber saya di Femina

http://www.femina-online.com/issue/issue_detail.asp?id=646&cid=2&views=27

Batuk seperti polusi, ada di mana-mana. Di negara empat musim misalnya, batuk terkait dengan musim tertentu. Pada musim semi, batuk terjadi akibat tebaran serbuk bunga. Pada musim dingin, batuk juga terjadi karena banyaknya kasus influenza. Di negara tropis seperti Indonesia, batuk bisa terjadi sepanjang tahun. Cermati batuk yang Anda alami, supaya penanganannya tepat dan tak berlebihan, seperti yang diungkapkan dr. Arifianto dari RSCM dan Yayasan Orang Tua Peduli berikut ini.

TERSEDAK, ALERGI ATAU PENYAKIT?
Batuk, sama halnya seperti lendir yang keluar dari hidung, bersin, air mata yang mengalir ketika mata terkena debu, bahkan kotoran yang keluar dari telinga, merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk menghalangi dan mengeluarkan penyebab penyakit (virus, bakteri, kuman), serta benda asing lainnya (debu, kotoran, makanan). Ketika benda asing tersebut masuk, saraf akan memberi sinyal pada otot tubuh untuk mengeluarkan ‘benda’ tersebut. Maka, terjadilah batuk.

Jadi, kalau Anda mengalami batuk, jangan dulu panik kalau-kalau Anda kena flu, atau lainnya. Batuk itu ternyata alami, kok. Batuk tanpa disertai demam atau sesak napas biasanya terjadi karena tersedak, terkena asap rokok, atau alergi. Batuk timbul akibat terangsangnya reseptor batuk yang tersebar di banyak lokasi tubuh, mulai dari saluran napas (hidung, trakea, bronkus), sampai di luar lokasi saluran napas (lambung dan telinga). Batuk pada luar lokasi saluran napas, misalnya, bisa terjadi ketika seseorang sedang membersihkan telinga dengan kapas telinga.

Namun, di sisi lain, batuk juga menjadi tanda atau gejala dari suatu penyakit tertentu. Infeksi virus seperti influenza misalnya, juga memiliki gejala batuk. Bahkan, infeksi bakteri tuberkulosis, infeksi saluran napas seperti pneumonia, juga bergejala batuk. Batuk juga bisa berarti adanya keganasan/kanker yang mendorong reseptor batuk di batang paru-paru.

Anda perlu curiga bahwa batuk yang Anda alami merupakan gejala dari penyakit ketika batuk tersebut disertai tanda lain, seperti sesak napas atau demam. Sesak napas (dyspnea) dapat timbul oleh beberapa sebab, seperti asma, penggumpalan darah pada paru-paru, atau pneumonia. Sementara demam, terjadi karena zat-zat yang merangsang hipotalamus (pusat pengendalian suhu tubuh dan sekresi hormon) menghasilkan pirogen (zat penyebab demam). Bila terjadi infeksi atau zat asing masuk ke dalam tubuh, maka sistem pertahanan tubuh akan melepaskan pirogen. Pelepasan pirogen ini memicu produksi prostaglandin E2 (molekul lemak yang berfungsi sebagai hormon, berperan dalam pengaturan detak jantung), yang kemudian meningkatkan temperatur. Pada penyakit tuberkulosis misalnya, Anda akan mengalami demam di malam hari dan batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu.

Batuk karena alergi merujuk pada reaksi hipersensitivitas yang dimunculkan oleh tubuh. Hipersensitivitas pada setiap orang ini berbeda-beda kadarnya. Sebagai contoh, jika A terpapar 100 debu, maka akan muncul reaksi alergi seperti batuk. Sementara pada B, baru terpapar 10 debu saja sudah langsung batuk-batuk, ditambah bersin-bersin.

“Anda justru harus khawatir ketika ada benda asing masuk ke dalam tubuh dan tubuh tidak memberikan reaksi. Itu tandanya sistem pertahanan tubuh Anda gagal merespons atau menghalau ‘musuh’ ini, dr. Arifianto menjelaskan.

OBAT BATUK, KAPAN PERLU?
Tidak ada orang yang betah mengalami batuk-batuk selama berhari-hari. Leher rasanya tidak nyaman, belum lagi orang-orang di sekitar, rata-rata menjauh karena tidak ingin udara di sekitar mereka tercemar. Tak heran, kalau leher gatal, rasanya ingin, deh, cepet-cepet minum obat.

Tapi, kini, setelah Anda tahu bahwa batuk tak selamanya tanda suatu penyakit, Anda perlu mengubah cara menanganinya. Dalam kasus alergi, yang perlu dilakukan adalah mengenali pencetusnya dan menghindari supaya tidak timbul gejala.

Kalau alergi karena debu atau tungau, ya, Anda harus rajin membersihkan rumah. Pada batuk yang penyebabnya adalah infeksi bakteri seperti tuberkulosis dan pneumonia, maka obatnya adalah antibiotika. Nah, pada influenza yang penyebabnya adalah infeksi virus, batuk ini tidak perlu diobati, karena bisa sembuh sendiri.

Lalu, bagaimana dengan obat batuk yang sangat beragam jenisnya, dan mudah ditemui di apotek maupun toko obat?

Obat batuk masuk dalam kategori over the counter drug, atau dengan kata lain, obat bebas. Menurut dr. Arifianto, produsen obat memang menciptakan label obat batuk untuk berbagai jenis batuk, seperti batuk berdahak, batuk kering, dan batuk alergi. “Padahal, obat ini sama saja, tujuannya adalah untuk menghentikan batuk, kata dr. Arifianto.

Obat anti batuk yang mengandung zat antitusif ditujukan untuk menekan refleks batuk, sehingga setelah minum obat, batuk diharapkan berhenti. Padahal, batuk yang terjadi adalah karena tubuh berusaha mengeluarkan lendir serta bakteri/virus/debu yang masuk. “Dengan adanya zat antitusif, pengeluaran ‘benda berbahaya’ ini akhirnya ikut dihambat. Akibatnya, justru virus/bakteri tersebut masuk ke saluran napas, napas menjadi sesak dan pemulihan penyakit jadi lebih lama, dr. Arifianto menjelaskan.

Konsumsi obat penekan refleks batuk disarankan pada keadaan-keadaan tertentu, misalnya batuk-batuk yang terkait penyakit kanker. Seperti batuk lainnya, batuk jenis ini juga terjadi karena refleks. Obat batuk yang mengandung antitusif akan berperan menekan reseptor batuk. Sehingga, penderita kanker tidak perlu terbatuk-batuk, dan diharapkan akan merasa lebih ringan.

Selain antitusif, Anda mengenal jenis obat batuk mukolitik dan ekspektoran, keduanya merupakan pengencer dahak. Dalam beberapa penelitian yang ditujukan pada anak-anak, ternyata tidak ada bedanya antara anak yang mendapatkan obat batuk ekspektoran dan yang tidak. Yang terjadi justru efek samping obat, serta risiko polifarmasi (mengonsumsi beberapa jenis obat yang sebenarnya tidak perlu).

Jadi, yang perlu dilakukan ketika Anda mengalami batuk adalah mengatasi penyebabnya, bukan mengatasi batuknya. Bayangkan ketika Anda mengalami batuk, pilek, panas, dan diare, lalu Anda dengan bebasnya mengonsumsi berbagai obat,

yaitu obat batuk, obat pilek, obat penurun panas dan obat antidiare. Padahal, penyebabnya ‘hanyalah’ infeksi virus yang akan sembuh sendiri.

Jika batuk disertai demam, yang diizinkan adalah memberi antipiretik (penurun panas) ketika suhu telah mencapai di atas 38,5º C. Setelah itu, minum air putih banyak-banyak untuk mengencerkan dahak. Bila batuk belum juga mereda atau menimbulkan sesak napas dan mengi (khas asma), hubungi dokter untuk mengetahui penyebabnya secara pasti. Jika telah diketahui penyebabnya, dokter akan memberikan antibiotik untuk penyakit tuberkulosis misalnya, atau inhalasi pada asma.


Penulis: Prilia Herawati

[Dari femina 26 / 2010]

Friday, February 05, 2010

"Flek Paru" yang ternyata Sakit Jantung

Bingung membaca judul di atas? Anda mungkin akan berpikir topik salah diagnosis yang akan saya ceritakan. Tidak sepenuhnya salah, namun tidak 100 persen tepat.
Saya akan memulai cerita dari beberapa kasus yang saya temui di poliklinik jantung anak dalam beberapa minggu terakhir.
Beberapa penyakit jantung bawaan (PJB) pada anak memang tidak terdiagnosis sejak lahir. Sayangnya tidak semua orangtua memahami hal ini, sehingga tidak jarang beberapa kasus PJB non sianotik (tidak menimbuhkan keluhan "biru" pada anak) baru disampaikan dokter pada orangtua, setelah bertahun-tahun mereka melakukan kunjungan pemeriksaan kesehatan rutin ke dokter, dan tidak pernah mendapatkan pernyataan "anak Anda tampaknya mengalami PJB", berdasarkan bunyi jantung yang didengarkan dengan sangat cermat melalui alat sederhana bernama stetoskop itu.
Secara umum PJB dapat dibagi menjadi golongan sianotik (muncul keluhan biru mulai dari sekitar mulut, sampai telapak tangan dan kaki, seringkali disertai sesak napas dan penampilan anak yang menunjukkan kondisi gawat darurat) dan non sianotik. Cukup mudah untuk mencurigai PJB pada jenis sianotik, namun bagaimana dengan golongan non sianotik? Tiga jenis kelainan PJB non sianotik terbanyak adalah duktus arteriosus persisten (browsing saja: PDA/persistent ductus arteriosus), defek septum ventrikel (keywords: VSD/ventricular septal defect), dan defek septum atrial (cari di search engine: ASD/atrial septal defect).
Pada bayi baru lahir sampai dengan usia sekitar delapan minggu, tahanan pembuluh darah yang menuju paru (dari jantung) masih cukup tinggi, sehingga adanya "kebocoran" (sebenarnya istilah ini kurang tepat, karena tiga kelainan PDA-VSD-ASD terjadi bukan akibat bocor, tetapi adanya celah yang seharusnya (sudah) menutup saat bayi lahir) yang menyebabkan adanya aliran/pirau dari bagian kiri ke kanan jantung, tidak akan menyebabkan bunyi "bising", akibat tidak adanya turbulensi. Ini prinsip fisikanya: (1) bising jantung terdengar hanya bila terjadi turbulensi; (2) pirau dari kiri ke kanan yang diimbangi oleh tahanan pembuluh paru yang masih tinggi tidak akan menyebabkan turbulensi.

Paham?? Well... singkat cerita, tahanan pembuluh darah yang menuju paru baru turun pada usia sekitar 8 sampai 12 minggu, sehingga timbul perbedaan tekanan yang cukup bermakna untuk menimbulkan turbulensi dan bermanifestasi sebagai bising jantung.

Maksud saya adalah: bayi baru lahir yang tidak memiliki keluhan sama sekali, tanpa kelainan bunyi jantung, dan dokter segera menyatakan "bayi Anda sehat, tidak ada kelainan, dan semua organnya normal", belum tentu tidak memiliki kelainan jantung bawaan, karena jenis PJB non sianotik bisa jadi paling cepat terdeteksi pada usia 12 minggu, karena bising jantung (murmur) baru dapat didengarkan dengan cermat pada saat ini, tergantung seberapa kecil celahnya. Lho, kok bukan seberapa besar? Semakin besar celah, bisa jadi semakin sulit bising terdengar.

One point I'd like to emphasize is: dokter harus melakukan pemeriksaan fisik jantung dengan cermat, yang kadang-kadang cukup sulit (anak menangis, tidak bisa diam, telinga dokternya belum dibersihkan, hehe), untuk dapat menemukan PJB ini. Satu kasus yang saya temukan beberapa hari silam adalah: usia 15 tahun yang baru diketahui mengalami ASD sekundum, karena keluhan yang tidak berhubungan dengan PJB sebenarnya. Anak ini memiliki perawakan normal (artinya gizinya baik), IQ superb (dia juara olimpiade sains), dan tidak pernah diketahui mengalami PJB sebelumnya. Kebetulan saja dokter yang memeriksanya terakhir kali adalah ahli jantung yang mendengarkan bising yang haammpiirr tidak terdengar, dan segera dilakukan ekokardiografi pada hari itu juga, dan... hasilnya ASD sebesar beberapa belas milimeter, ia sebaiknya segera mencari waktu untuk menutup celah di antara kedua serambi jantungnya.

Hal lain yang ingin saya sampaikan adalah: pada pemeriksaan foto rontgen dada ketiga jenis PJB asianotik/non sianotik tadi, dapat dijumpai gambaran pembuluh darah paru yang meningkat, khususnya pada jenis ASD. Hampir semua kasus ASD yang kami temui pernah mendapatkan pengobatan anti tuberkulosis (OAT), karena didiagnosis dokternya sebagai "flek paru" dan diobati sebagai tuberkulosis (TB) tentunya. Padahal si anak sama sekali tidak pernah terinfeksi kuman TB. Ini sebuah pelajaran lagi bagi dokter untuk lebih cermat dalam mendiagnosis TB.

Well, itulah dua hal yang ingin saya sampaikan. Mudah-mudahan tidak bingung memahaminya.

ditulis di tengah-tengah keributan kamar PPDS dan upaya untuk berkonsentrasi penuh dengan otak mengantuk

Vitamin Penambah Nafsu Makan

“Dok, anak saya susah makan. Ada vitamin penambah nafsu makan buat anak saya?” Ini adalah pertanyaan yang (sejujurnya) saya hindari. Kenapa?...