Tuesday, August 02, 2005

Setiap Pasien adalah Sebuah Pelajaran

Tiba-tiba pintu ruang praktik menjeblak terbuka.

“Dok, tolong! Kenapa anak saya ini?” Wanita berusia menjelang tiga puluhan tahun itu berlari menggendong anaknya. Menghampiriku.

Anak perempuan kecil dalam gendongannya tampak kaku dengan mata setengah terbuka. Kadua kakinya bergerak-gerak teratur. Terdengar rintihan pelan.

“Ya Alloh, astaghfirulloh, kenapa kau, Nak..” tangis ibunya yang tengah hamil 32 minggu.

Jari telunjuk dan tengah perempuan ini terjepit erat di antara gigi-geligi anaknya yang baru berusia 15 bulan. Ia khawatir anaknya yang tengah kejang tanpa sadar menggigit lidahnya.

“Tenang Bu, tenang. Ia kejang karena demam. Tidak akan lama berhenti sendiri,” sahutku berusaha menenangkannya.

Otakku terus berputar. Tenang Pin, tenang, ujarku menenangkan diri sendiri. Aku tidak suka keadaan ini. Selama ini jika menghadapi pasien kejang, selalu tersedia obat kegawatdaruratan untuk menghentikan kejangnya. Tabung diazepam rektal satu buah. Tapi di klinik kecil tempatku bekerja ini, obat itu tidak tersedia. Poliklinik salah satu pool perusahaan taksi ini memang tidak dipersiapkan untuk keadaan gawat seperti ini. Tak ada cara lain. Aku yakin dengan diagnosisku, dan berdasarkan teori, kejangnya akan segera berhenti. Amati saja keadaan anak ini. Miringkan posisi tubuhnya agar jika muntah tidak masuk ke saluran napasnya. Hitung berapa lama kejangnya. Pastikan tidak terjadi keadaan kekurangan oksigen.

***

Sekitar 15 menit sebelumnya, sepasang suami-istri membawa anak perempuannya yang berumur 15 bulan, dengan keluhan demam tinggi sejak siang hari.

“Tadi diukur di rumah, suhunya 40 derajat selsius,” kisah si istri.

Aku senang mendengarnya. Kenapa? Karena ibu ini tampaknya memiliki pengetahuan yang cukup, sehingga merasa perlu untuk menggunakan termometer dalam mengukur suhu tubuh. Hasilnya tentu objektif. Kita tahu persis apakah seseorang demam atau tidak. Tidak bisa mengandalkan perabaan tangan di dahi yang sangat subjektif.

Menghadapi klien seperti ini, membuatku senang dan perlu untuk mengedukasinya. Meluangkan waktu sedikit lebih lama untuk memberikan informasi, apa yang orangtua harus lakukan jika menghadapi anaknya demam. Bukan sekedar mendengarkan keluhan, dan menuliskan resep, selesai! Hmm, I’m not that type of doctor.

Kebetulan sekali di mejaku tersedia lembaran-lembaran mading edukasi untuk orangtua. Isinya mengenai ‘demam’, dan ‘kejang demam’. Apa yang harus orangtua pahami mengenai kedua kondisi ini, dan apa yang harus mereka lakukan jika menghadapinya pada anak mereka. Thanks to milis SEHAT yang telah menyediakan bahan mading ini.

Aku minta mereka untuk memfotokopinya, segera mengembalikannya padaku, dan mempelajarinya di rumah.

Si Kecil di hadapanku memang tampak lemas. Ia menggigil. Aku tegaskan pada orangtuanya, bahwa keadaan yang perlu diperhatikan saat ini jika sampai terjadi kejang. Aku tak pernah menyangka jika 15 menit kemudian ini akan terjadi. Tepat di hadapanku. Dan aku tak punya obat yang tepat untuk mengatasi keadaan ini.

Alhamdulillah, tak sampai lima menit, kejang mereda dengan sendirinya. Namun si Ibu justru bertambah keras tangisnya. Apa yang terjadi? Kedua jari tangan kanannya yang dimasukkan ke dalam mulut si kecil, tidak bisa dikeluarkan. Gigitan si anak selama hampir lima menit membuatnya kesakitan. Wanita ini menangis sejadi-jadinya, meluapkan rasa sakitnya tergigit.

“Aduh, Nak, tangan Ibu dilepaskan dong,” erangnya.

“Sini Bu, ganti saja dengan kapas perban ini,” sodorku. Sebenarnya tidak boleh memasukkan benda apapun ke dalam mulut anak yang kejang. Dikhawatirkan justru jalan napasnya akan tersumbat. Kejadian lidah tergigit sangat kecil.

Si ibu menatapku dengan ragu. Ia memang kesakitan luar biasa. Tapi ia lebih khawatir lidah anaknya akan tergigit. Inilah kasih seorang ibu.

Dalam waktu kejangnya ini, ayahnya mengurus transportasi yang bisa membawa mereka ke rumah sakit terdekat. Minimal untuk mendapatkan diazepam rektal lah. Observasi selama beberapa saat, sambil memasang selang oksigen pada si anak. Setelah kendaraan operasional pool siap, mereka menuju RS terdekat. Aku harus menyelesaikan beberapa pasien dulu, untuk kemudian menyusul mereka ke RS.

***

“Tadi waktu sudah di atas motor untuk dibawa pulang, saya melihatnya kejang. Padahal di luar itu gelap. Segera saja saya berlari membawanya kembali ke dalam,” kisah si Ibu padaku di ruang Gawat Darurat RS. Si Kecil sudah sadar. Ia menangis keras. Sudah masuk diazepam rektal satu tabung, untuk mengantisipasi terjadinya kejang ikutan. Walaupun kemungkinannya sangat kecil pada kejang demam.

“Diminta rawat inap, Dok,” lapor si Ayah padaku sambil membawa secarik kertas bertuliskan rincian uang muka yang harus dibayar. Besarnya Rp. 250 ribu.

Aku menggelengkan kepala tidak setuju. “Tidak perlu rawat inap,” jawabku singkat. Kejang demam memang tidak perlu dirawat. Hanya saja orangtua harus dibekali pengetahuan penanganannya, dan mereka sudah punya bahan tertulisnya. Mereka juga harus tetap tenang dan rasional menghadapi keadaan yang tampaknya menakutkan ini, padahal tergolong penyakit ringan yang tidak menyebabkan kerusakan otak.

Jangan sampai mereka juga ‘memperkaya’ RS ini, untuk kondisi yang sama sekali tidak perlu.

Jujur, harus kukatakan, inilah yang terjadi di dunia kedokteran. Banyak uang masuk ke RS, melalui rawat inap, untuk penyakit-penyakit yang tidak diindikasikan rawat. Mereka memanfaatkan ketidaktahuan dan kepanikan pasien yang meminta rawat inap. Bisa jadi juga karena dokter atau RS-nya ‘nakal’. Ya, darimana RS swasta dapat untung kalau tidak ada pasiennya.

Kebetulan sebagai dokter perusahaan, aku biasa memantau klaim penggantian yang masuk dari karyawan sakit dan dirawat. Sebagian besar dari RS swasta kecil ini, karena lokasinya yang dekat dengan pool taksi kami. Sering sekali penyakit-penyakit tanpa indikasi rawat yang akhirnya dirawatinapkan. Toh, biayanya akan diganti oleh perusahaan. Mungkin begitu pikir mereka. Aku sampai hapal dokter mana saja yang biasa bermain ‘tidak cantik’ ini.

Ayah si anak hanyalah seorang pegawai bengkel. Tempat kerjanya pun bukan di pool kami. Hanya saja lokasi klinik pool yang terdekat dari rumahnya adalah di tempatku. Sehingga untuk meminta pinjaman uang, prosedurnya agak rumit. Untuk membayar uang muka saja ia tidak sanggup. Untungnya ia berhasil dimotivasi untuk tidak perlu rawat inap. Bekal pengetahuan dan ketenangan adalah yang terpenting. Jika panik, hubungi saja dokter pool.

***

Sambil menyetir mobil pulang ke rumah, aku merenung. Kasus ini sangat ‘menarik’. Ketika aku membawa bahan dengan topik kejang demam, ada seorang anak yang mengalami kejang demam tepat di hadapanku, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa melainkan mengamatinya hingga berakhir, dan menenangkan orangtuanya. Belum pernah aku menghapi keadaan ‘tidak berdaya’ ini. Apakah ini pelajaran yang Alloh berikan khusus untukku, dengan mendatangkan pasangan suami-istri dan anaknya yang sakit padaku? Dalam pikiran seorang dokter, every patient is a lesson. Astaghfirullah, masak sedangkal ini aku menjadikan mereka sekedar bahan pelajaran? Aku memang senang berpikir ilmiah. But being a doctor isn’t just a scientist. They are the people who understand other people’s suffer, pain, and give them help. Being emphatic, not symphatetic.

Kalau diperhatikan, selama hampir setahun ini, orang-orang yang aku hadapi adalah mereka dari golongan dhu’afa, berpenghasilan dan berpendidikan rendah. Ini tampaknya pelajaran kemanusiaan yang Alloh berikan padaku. Dengan menjadi dokter. Profesi yang sangat aku hindari saat selepas SMU.

1 comment:

sRi_ said...

Begini y.....
suka duka mjd dokteR


Terus berjuang paak
Tdk bnyak dokter spt anda

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...