Sunday, December 09, 2012
Second Opinion: Jangan Segan Bertanya
Hampir dua minggu Karina kewalahan mengurus Malik yang tak kunjung sembuh dari diare. Selain lemas, Malik susah makan dan malah muntah-muntah. Padahal ia sudah memeriksakan anaknya ke dokter dan mematuhi semua anjurannya. Rekan kerja Karina menganjurkan ia mencari second opinion . Meski sempat takut dokter langganannya akan tersinggung, akhirnya ia menuruti nasihat temannya.
Kompetensi Sama
Apa yang dialami Karina mungkin pernah Anda alami. Menurut dr. Arifianto, Sp.A., dari Yayasan Orangtua Peduli (YOP), adalah hak pasien atau konsumen kesehatan untuk mendapatkan pendapat dari dokter lain mengenai masalah kesehatan yang dialami Si Pasien tersebut.
“Bisa juga didefinisikan sebagai seorang pasien datang ke dokter A yang memiliki kompetensi di spesialiasi tertentu. Kemudian, karena satu dan lain hal, dia mengunjungi sendiri dokter B yang kompetensinya sama dengan dokter A,” papar dokter spesialis anak yang aktif “berkicau” di Twitter dengan akun @dokterapin ini.
Meski sedikit, second opinion juga berlaku untuk kasus yang ditangani beberapa dokter spesialis dengan kompetensi berbeda. “Misalnya hernia pada bayi. Dokter A bilang harus operasi tapi dia tidak memberitahu kapan harus dikerjakan atau tidak merujuk,” ujarnya. Ketika pasien berinisiatif berkonsultasi ke dokter bedah, maka ia dianggap telah melakukan second opinion.
Jangan Takut
Meski termasuk hak, tak jarang pasien atau konsumen kesehatan segan atau takut meminta second opinion . Ternyata, fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia. Survei Harvard di tahun 2010 mengungkapkan sebanyak 70 persen orang Amerika Serikat merasa tidak memerlukan second opinion atau bahkan mencari tahu penyakitnya.
“Sebenarnya tidak perlu merasa enggak enak karena ini sudah diatur undang-undang,” tegas Arifianto. Apalagi, menurut pria yang biasa dipanggil dokter Apin ini, jika kasus yang didiagnosis adalah penyakit berat seperti kanker yang mengharuskan kemoterapi atau lupus. “Sebaiknya jangan percaya dengan satu dokter. Apalagi penyakit berat itu memiliki konsekuensi menentukan sisa hidup yang ada atau akan melibatkan banyak orang lain untuk mengurus dia.”
Second opinion juga bisa diambil jika Anda ragu dengan diagnosis dokter. “Atau, dokternya ragu-ragu menjelaskan penyakitnya apa. Kita boleh meminta second opinion terlepas dari apa pun diagnosisnya.” Lalu, ketika diagnosis dan terapi tidak sesuai. “Bilangnya infeksi virus, tapi dikasih antibiotik. Anak kurus karena turunan tapi dikasih susu formula,” papar Arifianto.
Second opinion juga bisa dilakukan bila, “Penyakit membutuhkan pemeriksaan atau pengobatan yang memakan biaya mahal, dalam waktu singkat, dan kalau tidak kasus emergency (darurat). Baik obat maupun pemeriksaan,” tegasnya.
Terakhir, second opinion bisa diminta jika pengobatan berlangsung dalam jangka panjang. “Misalnya TBC paru. Kan, belum tentu itu TBC paru, bisa saja batuk pilek biasa. Atau, sindrom nefrotik (ginjal bengkak) yang minum obatnya minimal dua bulan,” papar ayah dua anak ini. Walaupun diagnosis dokter jarang meleset, Arifianto menganjurkan second opinion . “Akan memengaruhi kalau dalam jangka waktu panjang.”
Yang jelas, saat melakukan second opinion , usahakan ke dokter yang memiliki kompetensi yang sama. “Jangan turun pangkat. Misalnya ke spesialis enggak yakin, malah ke dokter umum. Tidak disarankan juga second opinion ke alternatif karena ilmu dokter tidak bisa dibandingkan dengan alternatif,” tegas Arifianto.
Resume Medis
Second opinion , lanjut Arifianto, berbeda dengan rujukan atau merujuk. “Dalam hal ini, justru dokter umum yang merujuk ke dokter spesialis atau dokter spesialis merujuk ke dokter sub spesialis.” Rujukan juga mengharuskan pernyataan tertulis dari dokter pertama kepada dokter kedua.
Contohnya kasus di mana dokter anak umum mendapatkan kasus jantung. “Jantung anak harus di-echo , saya rujuk ke spesialis jantung. Atau, kasus-kasus yang memang butuh pemeriksaan lanjutan seperti USG , CT-scan atau butuh tindakan intervensif, pembedahan, katerisasi.”
Bagi Anda yang masih awam, Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) dan Undang-Undang Kedokteran sudah mengatur penggunaan rekam medis. “Berkas rekam medis milik layanan kesehatan dan isinya milik pasien Tapi, rekam medis secara utuh tidak boleh dibawa dari rumah sakit atau tempat praktik pribadi,” papar Arifianto.
Berkas yang merupakan hak pasien atau konsumen kesehatan adalah resume medis. “Pasien boleh minta resume medis dan diberikan saat pulang dari perawatan. Tapi, kenyataannya enggak semua diberikan karena berasumsi pasien akan kontrol di tempat yang sama,” ucap Arifianto. Resume medis sendiri berisi ringkasan rekam medis. Nah, saat meminta resume medis, pastikan dokter atau rumah sakit sudah menandatangani.
Bertanya ke Internet
Fenomena lain yang tak kalah menarik berkaitan dengan second opinion adalah googling your symptoms . “Ini namanya menjadikan internet sebagai first opinion dan dokter sebagai second opinion dan ini adalah hal positif,” cetus Arifianto.
Menurutnya, berkat informasi yang bertebaran di dunia maya, hubungan dokter dan pasien sudah setara. “Pertama, dunia sepakat bahwa pasien diposisikan bukan sebagai objek tapi sebagai subjek. Kedua, sekarang pasien itu dianggap sebagai konsumen jadi dokter adalah pemberi jasa,” paparnya.
Ketiga, lanjut Arifianto, fenomena ini menuntut dokter untuk terbuka dan jujur dalam memberikan informasi apa adanya. “Bahkan termasuk bila dokter enggak update sama ilmunya, dia harus mengakuinya, ‘Saya belum punya ilmunya, saya harus baca, atau mungkin kita bisa berbagi.’ Keempat, dokter mau enggak mau harus update ilmu,” tegasnya.
Akan tetapi, Arifianto mengingatkan supaya pasien atau konsumen kesehatan memilah dan memilih sumber informasi yang kredibel. Jika keliru, ada dua kerugian. Pertama, underestimate kondisi kesehatan. Misalnya, ada benjolan di payudara, setelah dicocokkan dengan situs kanker di internet diperkirakan jinak padahal ternyata ganas.
Sedangkan overestimate bisa juga terjadi gara-gara mendapatkan informasi yang salah. Misalnya, berat badan anak tidak kunjung naik dan makannya susah. Si Ibu ketakutan anaknya TBC lalu dikasih obat padahal bukan TBC.
Diskusi dengan Dokter
Supaya tak terjebak di dua masalah tadi, “Solusinya, ketika dia tidak yakin, ya dia perlu ke dokter. Dokter akan menjelaskan apakah yang selama ini dipahami dari internet benar atau tidak?” jelas Arifianto. Untuk kasus tertentu, pasien atau konsumen kesehatan disarankan terlebih dulu membaca, mengumpulkan, dan mencerna informasi sesuai yang ia mampu.
“Ketika dia pergi ke dokter, dia boleh menceritakan hasil penelusurannya dengan bahasanya sendiri. Kalau perlu dia bawa print out -nya, bahan-bahannya, jadi pasien ke dokter enggak blank .” Atau, pasien hanya menjawab “Ya” dan “Tidak” saat dokter bertanya keluhannya. “Tapi sebaliknya, dua arah. ‘Dok, saya baca gini.’ Fenomena ini adalah salah satu upaya membuat penyetaraan kedudukan antara dokter dan pasien,” papar Arifianto.
Jadi, bolehkah pasien bertanya? “Boleh, itu hak pasien. Cuma supaya konsultasi kesehatan berjalan efektif, ke dokter bukan cuma nunjukin print out artikel tapi kita udah mengolahnya menjadi sekian pertanyaan yang kira-kira kalau ditanyakan tidak memakan waktu lebih dari lima belas menit,” urainya. Dalam waktu lima belas menit, menurut Arifianto, seorang dokter biasanya sudah bisa mencapai kesimpulan penyakit apa yang diderita hingga terapi, termasuk menjelaskan cara minum obat dan efek samping.
Astrid Isnawati
dimuat di Tabloid Nova edisi 5-11 November 2012
http://www.tabloidnova.com/Nova/Kesehatan/Umum/Second-Opinion-Jangan-Segan-Bertanya
Saturday, August 25, 2012
Welcome to The "Batuk-Pilek" Season
Apa yang dilakukan kemudian menghadapi anak batuk-pilek? Anak-anak ini bisa jadi mengalami demam, rewel, kesulitan bernapas lega karena banyaknya ingus atau lendir, dan minta digendong terus. Orangtua yang baik ingin menghilangkan semua keluhan ini bukan? Berikan obat penurun panas, obat batuk-pilek, tetes hidung, diuap, dan digendong tentunya.
Dari semua pilihan yang ada, yang bisa saya lakukan adalah memberikan antipiretik bila demam dan... menggendongnya sampai tertidur. Bagaimana dengan terapi yang lain?
Ada beberapa fakta yang ingin saya sampaikan:
1. Batuk pilek alias common cold atau selesma adalah infeksi virus yang akan sembuh sendiri seiring waktu. Pilek dengan ingus yang berubah warna menjadi kuning-hijau-coklat adalah akibat bakteri normal saluran napas atas yang sama sekali tidak membutuhkan antibiotik. Batuk grok-grok hingga muntah tanpa disertai sesak napas juga tidak mengindikasikan pneumonia, sehingga lagi-lagi tidak membutuhkan antibiotik.
2. Tidak ada satupun obat pereda gejala batuk-pilek yang efektif untuk anak. Obat penekan refleks batuk seperti kodein dilarang digunakan, karena menghalangi keluarnya lendir yang berpotensi menyebabkan sesak napas. Obat pilek berisi pseudoefedrin berpotensi menyebabkan jantung berdebar-debar dan anak menjadi gelisah. Obat pengencer dahak semacam ambroksol atau bromheksin percuma saja diberikan, karena sekalipun dahak menjadi encer, anak di bawah 6 tahun umumnya belum bisa membuang dahak secara sengaja. Mereka akan menelan dahak atau kemudian memuntahkannya. Seringkali anak menjadi setelah muntah.
Badan pengawas obat di Amerika (FDA) menekankan penggunaan obat pereda gejala batuk-pilek harus sangat berhati-hati dan diijinkan khususnya di atas usia 6 tahun, meskipun anak usia ini juga tidak terlalu membutuhkan obat batuk-pilek.
3. Penggunaan obat tetes hidung untuk mengencerkan ingus boleh saja diberikan, meskipun tidak lama kemudian anak bisa kembali mampet, dan... tidak ada anak yang merasa nyaman ditetesi/disemprot hidungnya.
4. Tidak jarang anak batuk-pilek pergi ke dokter dan diuap (inhalasi). Niatnya untuk membantu mengencerkan dahak. Bisa jadi beberapa saat setelah diinhalasi, anak merasa nyaman. Tapi sesampainya di rumah, lendir kembali mengumpul dan batuk grok-grok terdengar nyaring. Apakah dengan demikian anak batuk-pilek harus diinhalasi sekian kali per hari. Fakta yang saya punya: terapi inhalasi ditujukan untuk serangan asma, bukan common cold. Saya juga berpendapat anak-anak yang diinhalasi mudah mengeluarkan dahaknya karena muntah akibat menangis ketakutan tidak suka mendengarkan suara bising mesin inhalasi dan asap yang dikeluarkannya. Jadi... buatlah anak menangis supaya muntah dan mengeluarkan dahaknya. Hehe...
Tidak ada anak yang meninggal karena common cold, karena sebanyak-banyaknya lendir, anak tidak sesak. Yang ada adalah anak meninggal karena pneumonia. Terapi pneumonia bukan diinhalasi, tetapi dirawat dan mendapatkan oksigen.
5. Boleh saja memberikan balsam untuk menghangatkan dada, air madu hangat, jeruk nipis atau ramuan rumahan lainnya. Semuanya membantu membuat anak nyaman, tetapi tidak menyembuhkan penyebabnya.
6. Antipiretik sejenis parasetamol sebenarnya lebih bertujuan membuat anak nyaman, bukan menurunkan suhu tubuhnya semata. Jadi jangan panik bila anak memuntahkan parasetamol setelah diberikan. Tubuh akan menurunkan sendiri suhu tubuh, karena punya termostat canggih.
Di balik semua ini, semua gejala yang ada tentunya Alloh ciptakan dengan tujuan. Demam timbul sebagai reaksi tubuh menghadapi infeksi virus agar tidak mudah berkembang biak. Bila saatnya turun, tubuh akan menurunkan sendiri suhunya. Demam baik kan?
Batuk bertujuan mengeluarkan dahak berisi kuman agar tidak menumpuk dan membuat sesak. Ingus berisi kuman yang seharusnya dikeluarkan tubuh juga. Muntah membuang bahan yang tidak seharusnya berada dalam tubuh. Segala sesuatu memang diadakan dengan tujuannya.
Bagi saya pribadi di ruang praktik, batuk-pilek termasuk penyakit yang paling sulit. Tidak jarang saya butuh 30 menit untuk meyakinkan orangtua bahwa common cold akan sembuh sendiri dan tidak butuh obat apapun. Batuk-pilek juga bisa berlangsung lebih dari 2 minggu, terutama bila ada orang lain di rumah yang sakit serupa. Ping-pong istilahnya. Kadang-kadang saya menangkap ekspresi kecewa di wajah orangtua. But the truth must be told. It's my opinion.
Kembali ke kenyataan, saya harus menghadapi si sulung yang batuk dan muntah berulang-ulang, sehingga asupannya sangat berkurang. But it's just a common cold anyway. It's self-limiting. Sembuh sendiri akhirnya, insyaAlloh. Dan... jangan lupa berdoa untuk kesembuhan anak kita. Kesembuhan hanya datang dari Sang Maha Penyembuh.
Monday, July 19, 2010
Obesitas Mengintai Anakku...
http://www.femina-online.c
Faktor nutrisi menjadi salah satu penyebab utama masalah kesehatan anak di Indonesia. Di satu sisi, banyak anak menderita kekurangan nutrisi, di sisi lain, banyak pula anak yang kelebihan kalori atau obesitas. Keduanya sama-sama mengalami kondisi tidak sehat. Dari penelitian yang dilakukan Masyarakat Pediatri Indonesia pada anak-anak sekolah dasar di 10 kota besar di Indonesia 2002-2005, angka obesitas rata-rata tergolong tinggi, 10%-12,2%. Penelitian serupa yang dilakukan pada anak-anak sekolah dasar di Jakarta pada 2006, malah menunjukkan angka mengejutkan, 9,8% hingga 37%. Masalah obesitas ini tampaknya tidak hanya terjadi di Indonesia. Badan Kesehatan Dunia, WHO, bahkan sudah menetapkan obesitas sebagai epidemik global yang harus segera diatasi.
Celakanya, masih ada pola pikir yang keliru dari para orang tua. Anak yang gendut, montok, dan berpipi chubby masih menjadi kebanggaan sebagian besar orang tua. Padahal, menurut para ahli kesehatan dunia, anak yang obesitas terancam sederet penyakit berat di masa mereka dewasa.
FAKTOR GENETIS ATAU POLA MAKAN?
Melia (32) cemas bukan main. Anaknya, Jerry (8), tak bisa bergaul dengan teman sebayanya. Penyebabnya, Jerry kerap menjadi sasaran ledekan temannya karena bentuk tubuhnya. Beratnya mencapai 60 kilogram, dengan tinggi badan 148 cm. “Waktu Jerry berusia 2 tahun, posturnya masih bagus. Sejak ia dititipkan di rumah neneknya, berat badannya melambung. Ia terlalu dimanjakan neneknya, makan apa saja dibolehkan. Dari kecil, porsi makan Jerry dibiasakan sebesar orang dewasa,” kenang Melia, yang pernah ‘menitipkan’ anaknya selama 2 tahun kepada orang tua untuk kuliah ke luar negeri.
Kasus Jerry termasuk salah satu kasus obesitas pada anak. Menurut ilmu kedokteran, anak yang mengalami obesitas mempunyai kemungkinan 78% obesitas berlanjut pada saat remaja, dan 25%-50% pada saat dewasa. Seperti yang dikatakan ahli gizi, dr. Carmelita Ridwan, SpGK dari Klinik Primavita, Jakarta, “Orang dewasa yang obesitas mempunyai kemungkinan lebih besar untuk menderita penyakit-penyakit yang berhubungan dengan kelebihan berat badan. Antara lain, diabetes melitus, hipertensi, hipokolesterol, stroke, penyakit jantung koroner, kanker usus besar dan payudara, serta risiko kematian dini bila mengalami kegemukan saat remaja dibandingkan dengan orang dewasa yang mengalami obesitas saat dewasa.”
Dokter Arifianto dari Yayasan Orang Tua Peduli, membenarkan hal tersebut. Ia menambahkan, penyakit-penyakit lain karena kondisi obesitas, antara lain saluran napas, asma, sleep apnea (gangguan tidur), dan gangguan ortopedi.
Seperti apa, sih, seorang anak dikatakan obesitas? Cara paling mudah, yakni dengan melihat grafik berat badan yang ada di kartu kesehatan anak. Jika berat anak berdasarkan usia masih berada dalam garis hijau, berarti masih proporsional. Jika sudah di atas garis hijau, berarti menunjukkan kelebihan berat badan yang patut diwaspadai. Definisi WHO menghitung obesitas berdasarkan body mass index (BMI). Rumusnya, berat badan dibagi tinggi badan kuadrat (kg/m²). Disebut obesitas bila dilihat dalam tabel Z score, berdasarkan usia, didapat hasil di atas 3.
Lantas, sejak kapan seorang anak bisa mengalami obesitas? Dokter Arifianto mengatakan, “Bayi baru lahir yang beratnya di atas 4 kilogram bisa dibilang overweight. Jika dirunut, pasti ada yang salah dengan ibunya. Bayi overweight biasanya karena ibunya menderita diebetes melitus tipe 2. Namun, sekarang ada pergeseran tren. Banyak bayi lahir dengan berat di atas 4 kilogram, tapi ibunya tidak terbukti diabetes. Belum ada penelitian lebih lanjut tentang fenomena ini,” ungkapnya. Lebih lanjut, dr. Arifianto menguraikan, anak yang obesitas dari usia 6 bulan, diprediksi akan obesitas pada usia 3 tahun. Anak yang obesitas pada usia 3 tahun, kemungkinan besar akan obesitas di usia remaja.
Baik dr. Arifianto maupun dr. Carmelita mengatakan, faktor genetis memegang peranan dalam menyebabkan obesitas pada anak. Akan tetapi, faktor lingkungan amat besar pengaruhnya. “Kalau faktor lingkungan tidak mencetus, harusnya, meskipun ada faktor genetis, tidak sampai overweight,” ucap dr. Arifianto.
Dokter Carmelita menambahkan, persisnya berapa persen faktor genetis ini berpengaruh, belum diketahui. Tetapi, ada yang menyebut, angkanya kurang lebih 30%. Sisanya, karena faktor lingkungan.
Faktor lingkungan yang dimaksud, kata dr. Carmelita, antara lain pola makan yang mengonsumsi makanan tinggi kalori, misal junk food (burger, french fries, nugget, sosis, dan lainnya), minuman kotak/botol, minuman cepat saji dari sachet, camilan kue dan biskuit manis, serta pola makan yang kurang mengonsumsi buah dan sayur. “Kalau anak makan di restoran fast food, sudah pasti minyaknya banyak. Belum lagi minumnya soda yang bergula tinggi. Terus sayurnya mana? Padahal, sayur dan buah dalam piramida makanan adalah tingkat yang paling besar kedua setelah golongan serealia,” kata dr. Carmelita.
Maka, dr. Carmelita menyarankan, konsumsi sayuran harus selalu ada di menu makan. Begitu juga buah. “Buah yang baik adalah buah potong atau yang di-blender. Bukan hanya sari buah yang berasal dari konsentrat dan tambahan gula,” tutur dr. Carmelita.
WASADA SEJAK ANAK BERUSIA ENAM BULAN
Bagaimana cara mengantisipasi agar anak terhindar dari obesitas? Jawabannya lagi-lagi soal pola makan. Kebiasaan keluarga, pengetahuan serta kepedulian orang tua sangat berperan. “Orang tua harus membiasakan anak makan sayuran dan buah. Untuk itu, orang tua harus memberi contoh. Sebab, anak meniru kebiasaan orang tuanya,” saran dr. Carmelita. Selain itu, orang tua juga sebaiknya membatasi stok jajanan yang terlalu manis, serta snack yang mengandung MSG. Sebagai gantinya, lebih baik menyediakan makanan buatan sendiri, seperti cocktail buah, puding, atau bubur kacang hijau.
Masalah kebiasaan pola makan ini, idealnya, menurut pendapat dr. Arifianto, sudah harus dibentuk sejak anak mulai dikenalkan makanan pendamping ASI (MPASI) di usia 6 bulan. Di usia ini, aktivitas makan bagi anak adalah proses belajar, mengenal berbagai bentuk, tekstur, dan rasa makanan, tanpa perlu sedikit pun memberi tambahan gula atau garam. “Anak belum perlu diberi makan banyak atau nasi 3 kali sehari. Sumber nutrisi utama anak masih dari ASI,” jelas dr. Arifianto.
Kebiasaan memanjakan dan membebaskan anak memilih makanan dan jajanan yang disukai, bukanlah cara bijak. Bukan anak yang menentukan apa yang dimakan, melainkan orang tua. Sayangnya, umumnya para orang tua punya ketakutan berlebihan, jika anak rewel karena permintaan yang tak dituruti atau tak doyan makan sama sekali. Ditambah lagi, adanya dorongan ketidak puasan melihat anak tetangga yang lebih gemuk. Menurut dr. Arifianto, ada fenomena orang tua lebih senang pada anak yang gemuk.
Soal ketidaktegaan ini diakui oleh Rika Martini, ibu dari Azka (4). Menurut Rika, Azka sering minta makan lebih banyak dari yang diberikan. “Kalau Azka minta nambah makan, masa saya larang, kasihan, ‘kan? Biasanya, malah baby sitter-nya yang tega melarang Azka nambah makan,” ujar Rika.
Lain lagi kebiasaan Puti Dewi Oka, ibu dari Redfan (2). Sebagai wirausaha yang punya bisnis sendiri di rumah, kepraktisan terkadang menjadi nomor satu. “Nutrisi memang penting, tetapi menyediakan makanan bernutrisi sehari-hari sangatlah sulit. Apalagi saat di rumah tak ada pembantu yang memasak. Menu anak sama dengan menu untuk orang tuanya, hanya dibuat tidak pedas saja. Kadang-kadang anak menolak sayur. Jadi, kalau dia maunya nasi putih saja, ya, dituruti, yang penting Redfan mau makan,” ujar Puti.
Sisilia Pujiastuti (32) juga pernah menghadapi masalah anak yang tidak mau makan. “Usia 14-16 bulan, Damai pernah susah makan. Saya sampai pusing memilihkan makanan untuknya. Saya sadari, kalau dalam fase itu kita salah mengambil keputusan, mungkin bisa berakibat fatal. Seperti cerita teman saya, ketika dalam fase tersebut anaknya tidak mau makan, dia memberikan fast food. Akhirnya, anak jadi ketagihan sampai sekarang,” ucap Sisil. Pada saat itu, Sisil membelikan Damai sebuah buku dari karakter di serial Sesame Street, Elmo, yang bertema healthy habit, tentang makanan sehat. Perlahan-lahan, Damai pun mau makan sayuran lagi.
PENGARUH TELEVISI DAN VIDEO GAME
Obesitas timbul karena asupan energi dari makanan dan minuman melebihi energi yang dikeluarkan untuk beraktivitas. Dalam hal ini, berlaku hukum termodinamika. “Kalori yang masuk harus sama dengan kalori yang keluar. Obesitas itu akibat dari ketidakseimbangan energi,” kata dr. Arifianto.
Di luar kebiasaan dan pola makan itu, ada faktor penting yang menyebabkan obesitas, yakni kurangnya aktivitas fisik yang membakar kalori. Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktivitas fisik yang rendah dengan obesitas. Keberadaan televisi dan video game yang menjadi ‘berhala’ baru anak zaman sekarang, banyak dituding sebagai faktor pembawa obesitas. Penelitian yang pernah dilakukan oleh G.D. Kopelman terhadap anak Amerika pada tahun 2000 menunjukkan, mereka yang menonton televisi 5 jam per hari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibanding mereka yang nonton televisi 2 jam per hari.
Apa hubungannya? “Anak jadi malas bergerak karena keasyikan nonton teve. Apalagi, kebanyakan iklan di teve isinya menyuruh anak-anak jajan yang tak sehat,” kata dr. Arifianto. Idealnya, menonton teve cukup 2 jam saja sehari. Belum lagi, jika anak sudah mulai kecanduan video game dan internet, aktivitas fisiknya makin jauh berkurang. Untuk anak yang obesitas bahkan disarankan menonton teve kurang dari sejam per hari.
Mengurangi kebiasaan menonton teve ini memang sangat sulit. Hal ini diakui Rika. Selain di sekolah, Azka jarang main di luar rumah. “Azka lebih suka main di kamar bersama mainannya atau nonton VCD. Malah, kalau sedang susah makan, baby sitter biasanya sengaja memutarkan VCD agar Azka mau makan,” jelasnya.
Masalah yang hampir sama juga dihadapi Melia. Meski sudah mengurangi jam menonton teve, setiap akhir pekan, Jerry lebih senang menghabiskan waktu untuk main game ketimbang diajak main ke tempat wisata. “Hari Minggu, Jerry bisa 5 jam main PS atau game komputer,” ujar Melia.
Lingkungan saat ini yang tidak memungkinkan anak-anak bermain di luar rumah, harus diakui, juga menjadi salah satu pemicu aktivitas anak lari ke televisi. Padahal, anak butuh ruang gerak untuk bermain dengan teman sepermainannya. Hal ini bisa disiasati, misalnya dengan mengikutsertakan anak dalam klub olahraga, atau les menari. Cara lain, “Joging di pagi atau sore hari, mengajak anak membantu beres-beres rumah, juga bisa menjadi alternatif murah dan menyehatkan,” kata dr. Carmelita, memberi saran.
Kebiasaan lain yang membuat penurunan aktivitas anak adalah kenyamanan sarana transportasi. Coba diingat, berapa jam dalam sehari anak Anda berjalan kaki? “Orang tua cenderung mengantar anak sekolah dengan mobil, turun langsung di depan gerbang sekolah. Padahal, ada baiknya membiarkan anak jalan kaki setidaknya 15 menit dari jarak mobil ke sekolah,” kata dr. Arifianto.
Bagaimana dengan anak-anak yang sudah telanjur mengalami obesitas? “ Hal yang perlu dilakukan adalah konseling gizi. Hitung berat badan ideal dan kebutuhan kalorinya. Perlu dijaga agar tidak mengonsumsi makanan yang mengandung kalori tinggi, memperbanyak sayur dan buah. Selain itu, aktivitas fisik juga harus diperbanyak. Usahakan agar berat badan anak tidak bertambah, dipertahankan hingga sesuai dengan usia yang seharusnya,” dr. Arifianto menjelaskan.
Ia menambahkan, kecuali ada hal-hal khusus, misalnya anak yang obesitas disertai penyakit tertentu. “Kalaupun harus turun berat badan, penurunan tidak boleh drastis.”
Penulis: Ficky Yusrini
[Dari femina 19 / 2010]
Batuk Mengamuk
http://www.femina-online.c
Batuk seperti polusi, ada di mana-mana. Di negara empat musim misalnya, batuk terkait dengan musim tertentu. Pada musim semi, batuk terjadi akibat tebaran serbuk bunga. Pada musim dingin, batuk juga terjadi karena banyaknya kasus influenza. Di negara tropis seperti Indonesia, batuk bisa terjadi sepanjang tahun. Cermati batuk yang Anda alami, supaya penanganannya tepat dan tak berlebihan, seperti yang diungkapkan dr. Arifianto dari RSCM dan Yayasan Orang Tua Peduli berikut ini.
TERSEDAK, ALERGI ATAU PENYAKIT?
Batuk, sama halnya seperti lendir yang keluar dari hidung, bersin, air mata yang mengalir ketika mata terkena debu, bahkan kotoran yang keluar dari telinga, merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk menghalangi dan mengeluarkan penyebab penyakit (virus, bakteri, kuman), serta benda asing lainnya (debu, kotoran, makanan). Ketika benda asing tersebut masuk, saraf akan memberi sinyal pada otot tubuh untuk mengeluarkan ‘benda’ tersebut. Maka, terjadilah batuk.
Jadi, kalau Anda mengalami batuk, jangan dulu panik kalau-kalau Anda kena flu, atau lainnya. Batuk itu ternyata alami, kok. Batuk tanpa disertai demam atau sesak napas biasanya terjadi karena tersedak, terkena asap rokok, atau alergi. Batuk timbul akibat terangsangnya reseptor batuk yang tersebar di banyak lokasi tubuh, mulai dari saluran napas (hidung, trakea, bronkus), sampai di luar lokasi saluran napas (lambung dan telinga). Batuk pada luar lokasi saluran napas, misalnya, bisa terjadi ketika seseorang sedang membersihkan telinga dengan kapas telinga.
Namun, di sisi lain, batuk juga menjadi tanda atau gejala dari suatu penyakit tertentu. Infeksi virus seperti influenza misalnya, juga memiliki gejala batuk. Bahkan, infeksi bakteri tuberkulosis, infeksi saluran napas seperti pneumonia, juga bergejala batuk. Batuk juga bisa berarti adanya keganasan/kanker yang mendorong reseptor batuk di batang paru-paru.
Anda perlu curiga bahwa batuk yang Anda alami merupakan gejala dari penyakit ketika batuk tersebut disertai tanda lain, seperti sesak napas atau demam. Sesak napas (dyspnea) dapat timbul oleh beberapa sebab, seperti asma, penggumpalan darah pada paru-paru, atau pneumonia. Sementara demam, terjadi karena zat-zat yang merangsang hipotalamus (pusat pengendalian suhu tubuh dan sekresi hormon) menghasilkan pirogen (zat penyebab demam). Bila terjadi infeksi atau zat asing masuk ke dalam tubuh, maka sistem pertahanan tubuh akan melepaskan pirogen. Pelepasan pirogen ini memicu produksi prostaglandin E2 (molekul lemak yang berfungsi sebagai hormon, berperan dalam pengaturan detak jantung), yang kemudian meningkatkan temperatur. Pada penyakit tuberkulosis misalnya, Anda akan mengalami demam di malam hari dan batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu.
Batuk karena alergi merujuk pada reaksi hipersensitivitas yang dimunculkan oleh tubuh. Hipersensitivitas pada setiap orang ini berbeda-beda kadarnya. Sebagai contoh, jika A terpapar 100 debu, maka akan muncul reaksi alergi seperti batuk. Sementara pada B, baru terpapar 10 debu saja sudah langsung batuk-batuk, ditambah bersin-bersin.
“Anda justru harus khawatir ketika ada benda asing masuk ke dalam tubuh dan tubuh tidak memberikan reaksi. Itu tandanya sistem pertahanan tubuh Anda gagal merespons atau menghalau ‘musuh’ ini, dr. Arifianto menjelaskan.
OBAT BATUK, KAPAN PERLU?
Tidak ada orang yang betah mengalami batuk-batuk selama berhari-hari. Leher rasanya tidak nyaman, belum lagi orang-orang di sekitar, rata-rata menjauh karena tidak ingin udara di sekitar mereka tercemar. Tak heran, kalau leher gatal, rasanya ingin, deh, cepet-cepet minum obat.
Tapi, kini, setelah Anda tahu bahwa batuk tak selamanya tanda suatu penyakit, Anda perlu mengubah cara menanganinya. Dalam kasus alergi, yang perlu dilakukan adalah mengenali pencetusnya dan menghindari supaya tidak timbul gejala.
Kalau alergi karena debu atau tungau, ya, Anda harus rajin membersihkan rumah. Pada batuk yang penyebabnya adalah infeksi bakteri seperti tuberkulosis dan pneumonia, maka obatnya adalah antibiotika. Nah, pada influenza yang penyebabnya adalah infeksi virus, batuk ini tidak perlu diobati, karena bisa sembuh sendiri.
Lalu, bagaimana dengan obat batuk yang sangat beragam jenisnya, dan mudah ditemui di apotek maupun toko obat?
Obat batuk masuk dalam kategori over the counter drug, atau dengan kata lain, obat bebas. Menurut dr. Arifianto, produsen obat memang menciptakan label obat batuk untuk berbagai jenis batuk, seperti batuk berdahak, batuk kering, dan batuk alergi. “Padahal, obat ini sama saja, tujuannya adalah untuk menghentikan batuk, kata dr. Arifianto.
Obat anti batuk yang mengandung zat antitusif ditujukan untuk menekan refleks batuk, sehingga setelah minum obat, batuk diharapkan berhenti. Padahal, batuk yang terjadi adalah karena tubuh berusaha mengeluarkan lendir serta bakteri/virus/debu yang masuk. “Dengan adanya zat antitusif, pengeluaran ‘benda berbahaya’ ini akhirnya ikut dihambat. Akibatnya, justru virus/bakteri tersebut masuk ke saluran napas, napas menjadi sesak dan pemulihan penyakit jadi lebih lama, dr. Arifianto menjelaskan.
Konsumsi obat penekan refleks batuk disarankan pada keadaan-keadaan tertentu, misalnya batuk-batuk yang terkait penyakit kanker. Seperti batuk lainnya, batuk jenis ini juga terjadi karena refleks. Obat batuk yang mengandung antitusif akan berperan menekan reseptor batuk. Sehingga, penderita kanker tidak perlu terbatuk-batuk, dan diharapkan akan merasa lebih ringan.
Selain antitusif, Anda mengenal jenis obat batuk mukolitik dan ekspektoran, keduanya merupakan pengencer dahak. Dalam beberapa penelitian yang ditujukan pada anak-anak, ternyata tidak ada bedanya antara anak yang mendapatkan obat batuk ekspektoran dan yang tidak. Yang terjadi justru efek samping obat, serta risiko polifarmasi (mengonsumsi beberapa jenis obat yang sebenarnya tidak perlu).
Jadi, yang perlu dilakukan ketika Anda mengalami batuk adalah mengatasi penyebabnya, bukan mengatasi batuknya. Bayangkan ketika Anda mengalami batuk, pilek, panas, dan diare, lalu Anda dengan bebasnya mengonsumsi berbagai obat,
yaitu obat batuk, obat pilek, obat penurun panas dan obat antidiare. Padahal, penyebabnya ‘hanyalah’ infeksi virus yang akan sembuh sendiri.
Jika batuk disertai demam, yang diizinkan adalah memberi antipiretik (penurun panas) ketika suhu telah mencapai di atas 38,5º C. Setelah itu, minum air putih banyak-banyak untuk mengencerkan dahak. Bila batuk belum juga mereda atau menimbulkan sesak napas dan mengi (khas asma), hubungi dokter untuk mengetahui penyebabnya secara pasti. Jika telah diketahui penyebabnya, dokter akan memberikan antibiotik untuk penyakit tuberkulosis misalnya, atau inhalasi pada asma.
Penulis: Prilia Herawati
[Dari femina 26 / 2010]
Friday, February 05, 2010
"Flek Paru" yang ternyata Sakit Jantung
Saya akan memulai cerita dari beberapa kasus yang saya temui di poliklinik jantung anak dalam beberapa minggu terakhir.
Beberapa penyakit jantung bawaan (PJB) pada anak memang tidak terdiagnosis sejak lahir. Sayangnya tidak semua orangtua memahami hal ini, sehingga tidak jarang beberapa kasus PJB non sianotik (tidak menimbuhkan keluhan "biru" pada anak) baru disampaikan dokter pada orangtua, setelah bertahun-tahun mereka melakukan kunjungan pemeriksaan kesehatan rutin ke dokter, dan tidak pernah mendapatkan pernyataan "anak Anda tampaknya mengalami PJB", berdasarkan bunyi jantung yang didengarkan dengan sangat cermat melalui alat sederhana bernama stetoskop itu.
Secara umum PJB dapat dibagi menjadi golongan sianotik (muncul keluhan biru mulai dari sekitar mulut, sampai telapak tangan dan kaki, seringkali disertai sesak napas dan penampilan anak yang menunjukkan kondisi gawat darurat) dan non sianotik. Cukup mudah untuk mencurigai PJB pada jenis sianotik, namun bagaimana dengan golongan non sianotik? Tiga jenis kelainan PJB non sianotik terbanyak adalah duktus arteriosus persisten (browsing saja: PDA/persistent ductus arteriosus), defek septum ventrikel (keywords: VSD/ventricular septal defect), dan defek septum atrial (cari di search engine: ASD/atrial septal defect).
Pada bayi baru lahir sampai dengan usia sekitar delapan minggu, tahanan pembuluh darah yang menuju paru (dari jantung) masih cukup tinggi, sehingga adanya "kebocoran" (sebenarnya istilah ini kurang tepat, karena tiga kelainan PDA-VSD-ASD terjadi bukan akibat bocor, tetapi adanya celah yang seharusnya (sudah) menutup saat bayi lahir) yang menyebabkan adanya aliran/pirau dari bagian kiri ke kanan jantung, tidak akan menyebabkan bunyi "bising", akibat tidak adanya turbulensi. Ini prinsip fisikanya: (1) bising jantung terdengar hanya bila terjadi turbulensi; (2) pirau dari kiri ke kanan yang diimbangi oleh tahanan pembuluh paru yang masih tinggi tidak akan menyebabkan turbulensi.
Paham?? Well... singkat cerita, tahanan pembuluh darah yang menuju paru baru turun pada usia sekitar 8 sampai 12 minggu, sehingga timbul perbedaan tekanan yang cukup bermakna untuk menimbulkan turbulensi dan bermanifestasi sebagai bising jantung.
Maksud saya adalah: bayi baru lahir yang tidak memiliki keluhan sama sekali, tanpa kelainan bunyi jantung, dan dokter segera menyatakan "bayi Anda sehat, tidak ada kelainan, dan semua organnya normal", belum tentu tidak memiliki kelainan jantung bawaan, karena jenis PJB non sianotik bisa jadi paling cepat terdeteksi pada usia 12 minggu, karena bising jantung (murmur) baru dapat didengarkan dengan cermat pada saat ini, tergantung seberapa kecil celahnya. Lho, kok bukan seberapa besar? Semakin besar celah, bisa jadi semakin sulit bising terdengar.
One point I'd like to emphasize is: dokter harus melakukan pemeriksaan fisik jantung dengan cermat, yang kadang-kadang cukup sulit (anak menangis, tidak bisa diam, telinga dokternya belum dibersihkan, hehe), untuk dapat menemukan PJB ini. Satu kasus yang saya temukan beberapa hari silam adalah: usia 15 tahun yang baru diketahui mengalami ASD sekundum, karena keluhan yang tidak berhubungan dengan PJB sebenarnya. Anak ini memiliki perawakan normal (artinya gizinya baik), IQ superb (dia juara olimpiade sains), dan tidak pernah diketahui mengalami PJB sebelumnya. Kebetulan saja dokter yang memeriksanya terakhir kali adalah ahli jantung yang mendengarkan bising yang haammpiirr tidak terdengar, dan segera dilakukan ekokardiografi pada hari itu juga, dan... hasilnya ASD sebesar beberapa belas milimeter, ia sebaiknya segera mencari waktu untuk menutup celah di antara kedua serambi jantungnya.
Hal lain yang ingin saya sampaikan adalah: pada pemeriksaan foto rontgen dada ketiga jenis PJB asianotik/non sianotik tadi, dapat dijumpai gambaran pembuluh darah paru yang meningkat, khususnya pada jenis ASD. Hampir semua kasus ASD yang kami temui pernah mendapatkan pengobatan anti tuberkulosis (OAT), karena didiagnosis dokternya sebagai "flek paru" dan diobati sebagai tuberkulosis (TB) tentunya. Padahal si anak sama sekali tidak pernah terinfeksi kuman TB. Ini sebuah pelajaran lagi bagi dokter untuk lebih cermat dalam mendiagnosis TB.
Well, itulah dua hal yang ingin saya sampaikan. Mudah-mudahan tidak bingung memahaminya.
ditulis di tengah-tengah keributan kamar PPDS dan upaya untuk berkonsentrasi penuh dengan otak mengantuk
Friday, October 23, 2009
Carut-marutnya sistem rujukan kita (2)
Contoh lain datang dari laporan jaga pagi ini. Diare akut dengan dehidrasi ringan-sedang, yang dirujuk dari sebuah RSUD besar di Jakarta, dengan keterangan diare akut dehidrasi berat. Penilaian dokter jaga saat pasien tiba di IGD memang dehidrasi ringan sedang. Lalu, sekalipun pasien datang ke RS pertama dengan dehidrasi berat, apakah mereka tidak dapat menanganinya? Tidak ada fasilitas? Hmmm, RSUD ini adalah layanan kesehatan sekunder, bukan primer seperti Puskesmas. Seharusnya tenaga medis dan paramedis yang ada bisa menanganinya dulu. Nilai status dehidrasi, pasang infus, resusitasi cairan, dan lakukan pemantauan. Tidak semudah membalikkan telapak tangan memang, tetapi ini standar prosedur standar di mana-mana. Atau mungkin ada alasan lain sehingga harus merujuk ke layanan tersier di tempatku bekerja? Tenaga kesehatan yang bertugas malam itu sedang kehilangan beberapa orang karena alpa? Keluarga pasien tidak mempercayai kompetensi penanganan kedaruratan di RS tersebut? Pasiennya tidak membawa uang sepeser pun plus belum punya jaminan kesehatan semacam SKTM/GAKIN/JAMKESMAS? Atau... rujuk saja ke eR-eS-Ce-eM, pasti ditangani. Ya, jika Anda beruntung tidak mendapati kami dua dokter jaga menghadapi belasan pasien dengan ancaman gagal napas tiga di antaranya. Anda datang, dan temui kami melakukan intubasi dan bagging dengan ekspresi tertuju penuh pada manusia sekarat di hadapannya.
Sistem rujukan menjadi tidak berjalan baik. Pasien yang seharusnya dapat ditangani di layanan kesehatan sekunder, harus dioper ke tingkat di atasnya yang overload. Itulah juga yang mungkin terjadi pada bayi-bayi seribuan gram (kurang-lebih) yang harus merasakan pompaan oksigen dari perasan tanganku. Jika saja antenatal care berjalan adekuat, ibu-ibu miskin tidak akan mengalami infeksi dalam kehamilan, tekanan darah tidak terkontrol, dan defisiensi asupan nutrisi yang melahirkan bayi-bayi bertingkat morbiditas tinggi, sekalipun berhasil dipertahankan berminggu-minggu di NICU. Semua orang berpikir, pasti ada tempat di RS ini. Semua pun melempar kemari. Dan... hadapilah kenyataan, kami tidak bisa optimal mempertahankan kelangsungan hidup bayi kecil Anda, karena semua tempat terisi.
Masih banyak PR di bidang layanan kesehatan bangsa ini. Harus selalu ada orang-orang yang berusaha memperbaikinya. Mereka yang memiliki kompetensi tentunya.
Thursday, October 22, 2009
Carut-marutnya sistem rujukan kita
Seorang anak laki-laki, enam tahun, mengalami demam sejak dua minggu silam, pertama kali datang ke sebuah klinik, menemui dokter praktik, dan disimpulkanlah diagnosisnya: "sakit tipes". Rawatlah barang sehari-dua, pasang infus, suntik antibiotika, demam mulai reda, si anak pun pulang ke rumah. Tak sampai 24 jam berselang, demam kembali melanda. Kini saatnya mencari pertolongan dokter spesialis, demikian terlintas dalam benak sang ibu. Dokter sepesialis melakukan eksplorasi lebih dalam. Ini bukan tipes, begitu jelas dokter melihat hitungan sel darah putih yang mendekati 50.000. Ini kanker sel darah putih. Harus dirawat. Segera rujuk ke eR-eS-Ce-eM. Simpulan dokter spesialis yang begitu blak-blakan membuat orangtua takut. Apa lagi keluhanmu, Nak? Pandanganku kabur. Telingaku sakit. Si anak dibawa ke dokter spesialis mata. Katanya ada kelainan saraf mata akibat sel kanker. Keesokannya di ibu membawa ke dokter THT. Telinga anak ini banyak kotorannya. Banyak sekali masalah anakku ini. Ibu semakin khawatir. Akhirnya ia membawa anaknya setelah dua minggu lebih demam. Diagnosis di IGD: leukemia akut dengan hiperleukositosis dan sindrom lisis tumor.
Ini hanya satu contoh doctor shopping--atas inisiatif orangtua tentunya--dengan (mungkin) kelalaian menangkap masalah sejak anak pertama kali datang ke dokter, ditambah (mungkin lagi) komunikasi yang kurang informatif, sehingga orangtua terlambat membawa anaknya ke pusat rujukan.
Masih banyak contoh lain seorang pasien berputar-putar membawa anaknya dari satu dokter ke dokter lain, tanpa informasi gamblang mengenai diagnosis penyakit anaknya, tanpa penekanan kapan harus dirujuk ke pusat yang lebih tinggi--jika memang perlu, dan akhirnya tiba di rumah sakit rujukan tempatku bekerja, dengan kondisi berat. Terlambat. Kami hanya mendapatkan tubuh yang telah diacak-acak sebelumnya. Tidak banyak yang bisa kami lakukan, meskipun bekerja dengan fasilitas terlengkap dan pakar ahli terbanyak di seantero negeri.
Bagaimana solusinya?
--bersambung, harus segera tiba di IGD untuk menangkap bayi-bayi yang keluar dari rahim ibu-ibu yang dirujuk dari berbagai sudut Jabodetabek
Tuesday, August 18, 2009
17 Agustus 2009 + 1
Tiga orang yang dimuat profilnya cukup saya kenal. Tidak hanya mendalami sains, mereka semua juga aktivis da'wah. Dua dari mereka bertetangga tidak jauh di komplek seberang tempat tinggal ayah-ibu saya, dan satu orangnya pernah berinteraksi cukup dekat dengan saya, ketika saya berusaha mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan pasca sarjana di luar lewat bantuannya. Namun saya gagal, sehingga saya mendaftar pendidikan spesialisasi di UI, dan alhamdulillah diterima.
Cukup jarang media massa mengangkat profil dokter yang penghargaannya setara dengan para ilmuwan muda yang diangkat dalam koran Tempo ini. Mungkin memang sangat sulit menemukan profil-profil dokter semacam ini. Dokter adalah profesi. Berinteraksi langsung dengan manusia. Orientasinya menukar jasa dengan sejumlah uang. Materi. Mereka bukanlah ahli teori yang berkutat dalam kesunyian di dalam laboratorium, menemukan sebuah piranti kasat mata, yang menjadi dasar penggerak sebuah mesin atau komputer. Dokter adalah biasa-biasa saja. Ribuan dokter tersebar di negeri ini. Sebagian besarnya bertumpuk di kota-kota. Bersaing mendapatkan pasien. Tidak banyak pelajaran menarik yang bisa diambil. Pelajaran yang ada adalah: ketidakpuasan pasien terhadap dokternya, gugatan malpraktik, dokter pelit bicara, meresepkan terlalu banyak obat, merasa dirinya lebih tahu dari pasiennya, dan setumpuk hal kurang simpatik lainnya.
Dua hari yang lalu, seorang kawan menelepon dari pelosok Lampung. Pasiennya di ambang maut. Perutnya buncit kebanyakan cairan, napasnya sesak, suhunya 40 derajat selsius. Ia meminta saran adakah tindakan lain yang dapat ia lakukan, setelah menceritakan kondisi pasien dan tindakan yang sudah ia lakukan. Adakah pemeriksaan analisis gas darah? Tidak ada, rumah sakitnya hanya dapat melakukan pemeriksaan darah tepi saja. Lagipula kalaupun hasil pemeriksaan menunjukkan darah yang asam, ia tidak punya natrium bikarbonat. Percuma saja. Bahkan sungkup oksigen pun tidak ada, hanya kanul nasal yang terpasang di kedua lubang hidung si pasien. Saya jadi malu, terbiasa dengan berbagai pemeriksaan penunjang, membuat saya sulit berpikir, apa lagi saran yang bisa saya berikan. Semua yang ia lakukan sudah maksimal. Obat furosemid sudah disuntikkan. Monitor balans cairan akan ia kerjakan. Baiklah Mbak, demikian kata saya, jelaskan saja pada orangtuanya berapa lama lagi waktu si anak akan bertahan. Tak disangka, keesokan paginya, kakak kelasku ini menelepon, mengabari bahwa si pasien masih bertahan, dan siap ditransportasi ke RSUD yang akan menempuh lima jam perjalanan.
Dokter-dokter yang ikhlas bekerja seperti ini di pelosok masih banyak. Mereka hampir tak pernah diangkat media. Saya pribadi sangat menghargai mereka. Mereka adalah dokter-dokter sesungguhnya. Sementara saya tinggal di ibukota, menempuh pendidikan lanjutan dengan segala peralatan canggih yang ada.
Merekalah pahlawan sesungguhnya.
Dan saya juga akan tetap mengagumi semua fisikawan Indonesia dengan karya-karyanya.
Apin. Siap-siap jaga malam di IGD: teater kehidupan manusia yang amat lemah di hadapan Penciptanya.
Friday, June 19, 2009
Miskin dan Bodoh
Segera setelah kami nilai tanda vitalnya, memberikan oksigen, menuliskan resep dan merencanakan pemeriksaan penunjang, ibunya yang berumur empat puluh tahunan bertanya, "kira-kira anak saya bisa dirawat jalan, tidak?"
Demamnya sudah berlangsung satu mingguan. Ruam muncul dari atas ke bawah dalam tiga hari terakhir. Hari ini ketika si anak tampak semakin lemah, orangtuanya baru membawanya ke Puskesmas yang segera merujuknya ke RS. Mereka tahu anaknya sakit. Anaknya butuh perawatan. Tapi mereka miskin. Mereka takut tidak bisa membiayai pengobatan di RS. Walaupun mereka memiliki KTP DKI, tetapi mereka tidak punya SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Andaikan Puskesmas tidak merujuk ke RS, si ayah pastinya tidak akan membawa anaknya menemuiku. Ia juga terlalu bodoh untuk mengetahui anaknya dalam ancaman kematian.
Dua hari sebelumnya, seorang balita berumur satu tahun juga kuterima dalam keadaan dehidrasi berat. Sudah satu minggu ia mengalami diare. Orangtuanya belum membawa anaknya berobat kemana-mana. Kudapatkan ia tampak lemah dan mengantuk, bernapas cepat, dan tidak dapat kuraba nadi di tangannya. Tidak kutemui ekspresi wajah panik pada sang ibu. Bocah malang ini dibawa ke IGD RS kami karena paginya si paman datang mengunjungi keponakannya, menemui anak itu dalam keadaan lemah. Kebetulan si paman adalah petugas kebersihan di kamar operasi RS kami. Gemas batinku melihat orangtua ini. Tapi harus kumaklumi. Ia miskin, dan mungkin bodoh juga, untuk mengetahui ancaman kematian anaknya. Kami harus melakukan pungsi intraoseus karena perawat paling mahir pun tidak mendapatkan akses venanya. Alhamdulillah sampai hari ini kondisinya stabil.
Kembali ke kasus anak pertama. Saat ini ia sudah berada di bangsal. Beberapa kali ia terbatuk dan mengeluarkan dua ekor cacing Askariasis seukuran kelingking orang dewasa. Pernahkah Anda membayangkan menemui keadaan ini di Jakarta? Sangat buruk pastinya kebersihan lingkungan rumah anak ini. Berat badan bocah berumur dua tahun ini juga hanya delapan kilogram. Bukan gizi buruk memang. Tapi ia gagal tumbuh. Ditambah perkembangan terlambat. Ia tidak mendapatkan imunisasi campak. Sekarang ia terkena komplikasinya: pneumonia.
Dua hari berturut-turut setelahnya, saat laporan jaga pagi, selalu ada pasien campak baru yang datang dalam klinis pneumonia. Salah satunya dalam perawatan ventilator di ICU saat ini. Ternyata Jakarta belum bebas campak. Padahal belum tiga tahun berselang, aku turut serta dalam PIN campak yang seharusnya meningkatnya cakupan imunisasi campak di seluruh DKI. Atau ternyata banyak orangtua tidak membawa anaknya ke Posyandu? Ataukah mereka justru menghindari imunisasi, seperti yang dilakukan sebagian orangtua di Indonesia? Entahlah, apa sebenarnya alasan mereka. Tapi yang tampak di depan mataku adalah tiga orang anak dengan nyawa terancam karena tidak diimunisasi campak.
Wednesday, October 29, 2008
Doctor to The Poor (Part one)
Bagi Anda yang membaca posting saya sebelumnya, pasti bisa menebak bahwa tulisan ini terinspirasi dari buku "Banker to The Poor"-nya Prof. Muhammad Yunus. Anda tidak salah. Buku ini sangat inspiratif bagi saya. Untuk itu, saya ingin berbagi pengalaman saya yang baru menjalani profesi dokter selama empat tahun ini, yang sekiranya relevan dengan ide-ide Muhammad Yunus.
Saya sangat bersyukur dengan pengalaman profesi saya yang sebenarnya masih sangat sedikit ini. Lulus dari fakultas kedokteran empat tahun silam, saya belum memiliki rencana spesifik, akan menjadi dokter seperti apa saya. Beberapa jenis pekerjaan telah saya coba: menerima tawaran untuk melamar sebagai dokter di sebuah perusahaan asuransi, menjadi dokter jaga di klinik 24 jam, namun hanya bertahan tidak lebih dari 48 jam, dan selebihnya ditawari kakak-kakak kelas. Pekerjaan yang cukup lama bertahan adalah menjadi dokter pemeriksa di sebuah perusahaan taksi dan dokter jaga di Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC), klinik khusus untuk dhu'afa. Dua pekerjaan ini membiasakan saya berinteraksi dengan pasien yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Dua tempat ini juga mengasah kemampuan saya berinteraksi dengan pasien, membuat pola dan teknik komunikasi yang khas dan individual antara dokter-pasien, dan mendapatkan penghasilan tetap tentunya. Cerita-cerita berkesan tentang dua tempat ini ada di arsip blog.
Tak lama setelah lulus, saya juga bertemu kembali dengan guru saya di fakultas kedokteran. Interaksi dengan beliau mengharuskan saya melatih diri memberikan banyak ceramah kesehatan bagi masyarakat non medis. Tidak sampai satu tahun berselang, saya dan istri menggali pengalaman baru sebagai dokter dan dokter gigi program tidak tetap (PTT) di propinsi Jambi. Hanya enam bulan, cukup singkat memang. Kini, empat tahun pasca lulus dari FK, saya kembali menjalani pendidikan sebagai peserta program pendidikan dokter spesialis anak di almamater S1.
Komentar pertama saya lahir dari pengalaman bekerja di LKC. Buat saya, lembaga ini tidak sekedar memberikan dana berobat bagi masyarakat dhu'afa yang butuh pengobatan namun tidak punya uang, tetapi juga berusaha memberdayakan mereka, lepas dari segala kekurangan sistem yang ada. Penjaringan anggota dilakukan dari survei tim LKC langsung ke rumah-rumah mereka yang mengajukan keanggotaan. Segera setelah disetujui, anggota memiliki hak untuk mendapatkan layanan kesehatan secara gratis, sama sekali tidak dipungut biaya, dengan mendatangi LKC. Dari berbagai penjuru Jabodetabek, bahkan beberapa dari luar wilayah ini, termasuk luar Jawa, kaum dhu'afa datang untuk mendapatkan layanan kesehatan umum, gigi, kebidanan dan kandungan, pemeriksaan laboratorium dan radiologi, serta obat langsung dari apotek LKC. Tak dapat dipungkiri, kesannya memang dominan kuratif: kalau sakit ya baru datang untuk berobat. Beberapa yang harus dirujuk ke RS, misalnya harus mendapatkan kemoterapi, dilakukan operasi besar hingga amputasi sekalipun, dan konsultasi ke subspesialis, diantarkan langsung menggunakan ambulans LKC, dan diurusi Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS)-nya. Setidaknya LKC membantu mengadvokasi masyarakat untuk mendapatkan SKTM/JAMKESMAS dari pemerintah ini. Untuk menghindari kesan kuratif, LKC juga memiliki banyak program di bidang promotof/preventif. Lembaga ini memiliki banyak desa binaan dan memberikan supervisi bagi pos-pos kesehatan mandiri yang memiliki dana untuk memberdayakan masyarakat setempat di bidang kesehatan, misalnya dalam hal revitalisasi Posyandu, membentuk kader-kader pemberantas tuberkulosis (TB), dan penanganan gizi buruk. Inilah beberapa kegiatan yang saya tahu hingga saya meninggalkan LKC 1,5 tahun silam. Saya bercerita di sini berdasarkan pengalaman pribadi, tidak mewakili lembaga.
Pelajaran berharga yang ingin saya bagi adalah: kekuatan dana zakat-infak-sodaqoh yang dikelola secara amanah dan profesional, ternyata dengan cukup efisien mampu memberikan kontribusi menyehatkan masyarakat miskin secara optimal. Dana tidak sekedar digunakan untuk membiayai pengobatan orang sakit, tapi juga memberdayakan mereka saat sehat, sebelum jatuh sakit. Lembaga-lembaga seperti LKC sebenarnya sudah lahir di banyak tempat saat ini. Namun yang memiliki jam terbang dan diversifikasi program seperti LKC belum banyak.
Bertolak dari sini, ada beberapa hal yang menurut saya bisa dokter lakukan untuk membantu masyarakat miskin di bidang kesehatan:
1. Memberikan pendidikan kesehatan bagi masyarakat non medis, misalnya penyuluhan kesehatan.
Saya dan istri memahami, penghasilan keluarga tidak dapat digantungkan semata dari menjalankan profesi medis ini. Kami bukanlah tipe orang yang "ngoyo", berusaha mendapatkan semaksimal mungkin dari praktik dokter-dokter gigi saja. Orangtua kami telah mengamanahkan anak-anaknya menjadi profesional medis untuk dapat membantu orang lain. Konsekuensinya: berprofesi harus seimbang dunia-akhirat. Tiap pasien harus dilayani dengan baik: tidak hanya diobati penyakitnya, tetapi diberikan pencerdasan agar ketika menghadapi kondisi penyakit serupa, bisa menangani terlebih dahulu sendiri di rumah. Pasien diberitahu kapan harus ke dokter. Kalau memang tidak perlu ke dokter, ya tidak perlu ke dokter. Rugi dong dokternya? Insya Alloh tidak. Kadang saya geli juga dengan istri saya. Ia demikian semangatnya menjelaskan bahwa sikat gigi itu penting, menunjukkan dengan model gigi bagaimana cara menyikat gigi, dan bahwa gigi pasiennya tidak perlu dicabut, tapi bisa dirawat dulu. Tapi si pasien sudah tidak sabar ingin giginya dicabut, dan tampak bosan dengan penyuluhan istri saya. Tidak mudah memang mengubah pola pikir masyarakat yang ingin datang ke dokter, dapat obat, terus sembuh. Kalau dokternya tidak manjur, ya pindah ke dokter lain. Kalau tidak dapat obat, tidak bakalan sembuh.
Saking tertariknya dengan urusan suluh-menyuluh, istri saya pernah merancang program yang ia namakan "Dana Sehat", yaitu warga RT/RW mengumpulkan iuran Rp 3.000 per kepala keluarga per bulan, dan dananya diolah untuk diwujudkan menjadi buletin kesehatan dan pemeriksaan-pemeriksaan preventif kesehatan lainnya dengan harga sangat murah. Niatnya menciptakan masyarakat yang sehat. Puskesmas setempat yang seharusnya banyak menjalankan program preventif-promotif ini tidak banyak berperan. Puskesmas nyatanya lebih tendensius di bidang kuratif: mengobati yang sakit. Namun para petinggi masyarakat di lingkungan rumah kami kurang menanggapinya. Ini tantangan sesungguhnya. Kami hanya single fighter. Perjalanan untuk mewujudkan cita-cita kami masih panjang.
Belum lagi program lain istri saya dengan semangatnya yang tak pernah padam: Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) Mandiri. Yaitu menawarkan ke sekolah-sekolah yang ada satu paket perawatan gigi lengkap dengan biaya wajar, dengan menitikberatkan pada upaya promotif-preventif. Tidak berbeda dengan UKGS yang diadakan Puskesmas. Namun karena terbatasnya cakupan Puskesmas ke sekolah swasta, upaya ini harus dilakukan. Rencana ini timbul dengan pengalaman istri saya menjalankan UKGS bermodalkan poster pemberian di hampir semua SD di kawasan transmigrasi pelosok Kabupaten Muara Jambi saat PTT. Ketika Puskesmas kebanyakan hanya memberikan penyuluhan saja untuk menggugurkan kewajiban dari Dinas Kesehatan Kabupaten, dan dianggap telah menjalankan program, istri saya memberikan bonus bagi seluruh sekolah: pemeriksaan gigi gratis plus pencabutan gigi susu, dan sikat gigi massal. Petugas Puskesmas lain agak sulit mengikuti istri saya yang terlalu rajin ini. Hehe.
Bagaimana cara lain meningkatkan penghasilan keluarga, jika tidak dapat mengandalkan income dari praktik kedokteran? Investasi di bidang ekonomi lainnya. Yang penting halal dan sesuai syari'ah. Lagi-lagi motornya istri saya, yang menggemari investasi sejak mahasiswa. Sampai sekarang ia masih berjualan pulsa elektrik sebagai hobi dan memudahkan kami mengisi ulang pulsa. Ia juga menjalankan usaha makanan franchise bermodal kecil selama setahunan ini. Kami juga sedang menggemari Aidil Akbar dan Perfect Number-nya. Saat ini, semangat yang ada adalah mencari ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya di bidang investasi. Bukankah sembilan dari sepuluh sahabat Rasululluah saw yang dijamin masuk surga adalah pedagang? Mengapa umat Islam dari profesi manapun kemudian tidak berani berdagang? Dengan tidak mengabaikan kode etik profesi tentunya: tidak menjalin kolusi dengan farmasi, tidak membohongi pasien dengan diagnosis tidak jelas (kalau tidak tahu atau tidak yakin, ya bilang saja tidak tahu, tapi berjanji untuk mencarikan jawabannya), dan berani tidak melubangi kantong pasien dengan resep obat yang tidak perlu.
2. Menanamkan pemahaman pola penggunaan obat yang rasional, yaitu menghindari praktik polifarmasi (meresepkan lebih dari dua obat, yang sebenarnya tidak perlu) dan penggunaan antibiotika yang tidak rasional.
Polifarmasi berdampak pada kemungkinan interaksi obat yang berpotensi membahayakan tubuh, padahal seringkali dokter tidak memahami interaksi obat-obatan yang diresepkannya. Mereka hanya mengikuti resep turun-temurun dari para pendahulunya: puyer/kapsul campur untuk diare, puyer untuk batu-pilek, kapsul campur untuk demam, dsb. Apoteker lalu tidak meneliti lebih jauh kemungkinan interaksi yang dapat terjadi, dan asisten apoteker lalu meraciknya mengikuti instruksi. Dampak lain tentunya pada biaya obat yang mahal. Bayangkan saja jika resep yang mahal ini diresepkan ke pasien-pasien kurang mampu, karena dokter kurang pede untuk meresepkan seminimal mungkin obat, khawatir obatnya tidak cespleng dan pasiennya tidak lekas sembuh, apalgi kabur ke dokter lain. Biaya pengobatan mahal ini lebih berguna ditabung untuk pendidikan anak-anaknya atau membeli bahan pangan bergizi tinggi.
Pun dengan antibiotika. Jangan ragu untuk tidak meresepkan antibiotika sama sekali, kalau penyakitnya akibat infeksi virus, atau pilihlah antibiotika dengan spektrum sesempit mungkin sesuai panduan (guidelines) penyakitnya. Kekurangpercayadirian dokter membuat mudahnya mereka meresepkan antibiotika spektrum luas sebagai pilihan pertama. Lagi-lagi dampak negatifnya akan sama seperti paragraf di atas, baik bagi pasien miskin ataupun kaya.
Dalam satu sesi ceramah di sebuah universitas di tepi Jakarta, mendampingi pembicara dari Kanada, sehingga saya harus berbicara dalam dua bahasa, seorang panelis bertanya, apakah saya hanya akan jadi pahlawan kesiangan, memaparkan fakta polifarmasi dan penggunaan antibiotika yang berlebihan, sedangkan saya berdiri sebagai pembicara seolah-olah hanya menampilkan masalah, tanpa melakukan sesuatu untuk mengatasinya? Saya terkejut sekaligus geli dengan pertanyaan spontan dosen bertitel pascasarjana itu. Satu-dua orang dokter yang berusaha bersikap idealis, tidak melakukan praktik polifarmasi dan meresepkan antibiotika dengan hati-hati, mungkin tidak akan membuat perbaikan bermakna. Untuk itu perlu adanya ajakan dari satu dokter ke dokter lain, yang diharapkan terus bergulir seperti bola salju, hingga akhirnya semakin banyak dokter akan memiliki kesadaran dan pemahaman untuk bersikap rasional dalam melakukan peresepan. Namun penelitian menunjukkan bahwa dokter adalah salah satu profesi yang paling sulit mengubah pola praktik yang sudah turun-temurun berjalan di Indonesia ini. Seorang sejawat saya yang pernah menjadi staf pengajar untuk pendidikan spesialis dengan pesimis mengatakan bahwa karena sulit mengubah perilaku dokter yang dididiknya (baru kelihatan ketika sudah lulus dan berpraktik sebagai dokter spesialis), ia memutuskan untuk mengajar saja pasien-pasiennya supaya pintar. Mengerti ilmu kesehatan. Konsumen kesehatan adalah dokter bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Setidaknya inilah yang dokter bisa lakukan: memberikan pendidikan kesehatan bagi masyarakat awam (non medis).
Bagi saya pribadi, pengalaman memberikan ceramah kesehatan ini juga sangat menyenangkan. Atas bimbingan dan kesempatan yang diberikan guru saya di milis sehat, saya bisa merasakan pengalaman memberikan ceramah mulai dari orangtua-orangtua muda berlatar pendidikan sarjana di Jakarta dan sekitarnya, ceramah bagi ibu-ibu pengajian di beberapa masjid, pelatihan bagi dokter dan tenaga medis di perusahaan di luar kota, hingga terbang ke Surabaya dan pembangkit listrik di Paiton, Probolinggo. Kesannya sama: mereka semua antusias dengan materi-materi kesehatan yang kami berikan. Mereka butuh. Mereka juga berpotensi menjadi agen perubahan yang akan menularkan "virus of the mind" ini ke kerabat-kerabat terdekatnya. Umumnya mereka berpendidikan dan berpenghasilan menengah ke atas. Setelah mendapatkan ceramah, sangat mungkin pos pengeluaran mereka di bidang kesehatan akan berkurang, karena mereka telah tahu bagaimana layanan kesehatan yang rasional. Andaikan saja masyarakat yang miskin dan awam kesehatan mendapatkan pencerdasa-pencerdasan semacam ini. Mereka tidak perlu khawatir uang mereka yang pas-pasan akan habis untuk biaya berobat ke dokter.
belum kelar... ada usulan untuk sambungannya? Mungkin saya akan sedikit bercerita tentang program dokter keluarga yang diterapkan oleh Bupati/Walikota Bontang, Kalimantan...
Bank Kaum Miskin

Pertama kali saya mendengar nama Muhammad Yunus sebagai peraih Nobel Perdamaian tahun 2006 adalah ketika mengikuti pelatihan ESQ Eksekutif, atas dorongan dan motivasi dari istri saya tercinta, di akhir tahun 2006. Dorongan untuk segera membaca buku tentangnya langsung muncul begitu melihatnya di salah satu tumpukan di toko buku, tak lama setelah berbincang-bincang dengan seorang senior yang menyebut-nyebut namanya lagi.
Saturday, September 13, 2008
Ditonjok Pasien

“Ini salah dokter. Dokter mencabut alat tanpa seijin saya!”
Duk! Bogem mentah mendarat tepat di ubun-ubun pria di sebelahku. Ia terhuyung sedikit ke belakang.
Refleks, aku mendorong laki-laki peninju menjauhi pria tadi. Kupegangi erat-erat kedua lengannya agar ia tidak merangsek ke depan. Pria yang terkena bogem di belakangku mulai bergerak ke penyerangnya.
Gawat.
“Sabar, Pak, sabar. Tenang!” kataku.
Gerakan keduanya terhenti. Aku khawatir sekali. Laki-laki yang kuhadang ini adalah ayah pasien yang baru saja meninju dokter yang ikut merawat anaknya.
Anaknya baru saja kami nyatakan meninggal, setelah resusitasi yang cukup melelahkan selama lebih dari 30 menit. Melakukan kompresi jantung di tengah siang bulan puasa, ventilasi tekanan positif yang membuat kram tangan, dan percobaan intubasi yang gagal melulu. Kondisi anaknya memang kurang bagus. Kesadarannya tidak pernah pulih, pasca pemasangan ventilator berhari-hari, ditambah “bonus” sepsis. Si bocah mengalami gagal napas siang itu. Orangtuanya tidak terima. Dalam keadaan kalut, ia menyerang dan menyalahkan dokter bedahnya. Singkat cerita, si ayah memeluk dokter yang baru saja dipukulnya. Ia menerima kematian putrinya. Namun apakah cerita akan berakhir di sini? Akankah ia melancarkan tuntutan ke rumah sakit?
Saya mengalami sendiri kisah di atas. Salah satu bagian dari buku “Better” membahas dengan baik malpraktik dalam esai “The Malpractice Mess”. Pembahasan yang belum pernah kubaca dari sisi analisis manapun, khususnya di Indonesia. Saya tidak akan membahas topik ini di sini. Silakan baca sendiri buku asli atau terjemahannya, atau di majalah “The New Yorker” edisi 2006. Yang jelas, sebagian besar dokter sepakat, bahwa tuntutan malpraktik, di Indonesia khususnya, berakar dari komunikasi dokter-pasien yang kurang baik. Sama halnya dengan ilustrasi di atas, menurut saya. Semua tindakan yang dilakukan terhadap pasien adalah sesuai standard of procedure, namun penjelasan yang kurang terhadap orangtua membuat tuntutan mungkin saja diajukan. Apalagi pada pasien-pasien yang dirawat di unit rawat intensif, keputusan dokter untuk meneruskan resusitasi atau tidak harus benar-benar disampaikan pada keluarga.
Saya jadi ingat sebuah kasus. Seorang anak perempuan berumur 3 tahun dengan gagal ginjal kronik, sesak napas, edema paru, tak respon dengan pemberian diuretik sampai dosis yang dimungkinkan, tidak dapat dilakukan hemodialisis karena tidak ada alat yang sesuai ukuran anak-anak, dan kontraindikasi relatif untuk pemasangan dialisis peritoneal karena trombositopenia—sel-sel pembeku darahnya hanya 25 ribu per mikroliter—sehingga pemasangan CAPD berisiko tinggi menimbulkan perdarahan, akhirnya diputuskan untuk pemasangan ventilator.
Orangtuanya mampu secara finansial. Cerdas pula. Pertanyaan-pertanyaannya ke tim dokter mengesankan seolah-olah ia pernah mampir kuliah di fakultas kedokteran. Harus sangat berhati-hati jika berbicara dengan pasien seperti ini.
“Apa yang akan dokter lakukan, jika ini adalah anak Dokter?”
Dokter spesialis anak konsultan dengan uban hampir memenuhi kepalanya ini tak membutuhkan waktu lama untuk menjawab. “Saya akan menghentikan ventilatornya dan berserah pada Tuhan.”
Anak ini masih bisa bernapas spontan. Cairan masuk-keluar selalu dihitung tiap beberapa jam. Balans cairannya harus negatif. Tidak perlu melakukan pengambilan sampel darah berulang kali untuk pemeriksaan diagnostik. Jika terjadi perburukan, henti napas misalnya, tidak perlu dilakukan kompresi dada yang berisiko mematahkan tulang rusuknya. Biarkan ia meninggal dengan tenang.
Orangtuanya setuju. Dibuktikan dengan tanda tangan di dalam lembar status rekam medik. Komunikasi berjalan baik.
“Pada kondisi seperti ini, yang kita lakukan adalah to care, bukan to cure,” jelasnya pada kami, para residen.
Kasus lain yang agak sukar kulupakan adalah pasien kecilku dengan sirosis bilier. Sejak usia beberapa minggu, ia sudah kuning. Bukan kuning fisiologis, yang seharusnya sudah menghilang. Bukan pula breastmilk jaundice ataupun breastfeeding jaundice. Matanya kuning, tinjanya berwarna pucat, dan urinnya seperti warna the. Perutnya juga terus membuncit. Jawaban yang ia dapatkan dari dokter anak pertama adalah, “tidak apa-apa, dijemur saja, nanti juga hilang sendiri.” Padahal saat itu umurnya sudah mendekati dua bulan.
Di usia empat bulan, orangtuanya membawa ke dokter anak lain. “Ini atresia bilier. Seharusnya dilakukan operasi sebelum usianya dua bulan. Sekarang sudah terlambat. Tanda-tanda awal sirosis sudah terjadi.”
Hingga kini orangtuanya tidak pernah terpikir untuk menuntut dokter anak pertama. Mungkin karena ia hanya lulusan SMP, dan hanya bekerja sebagai sopir pribadi bos perusahaan, tak terpikir olehnya untuk melakukan hal itu.
“Doctor is not a job, but it is a profession”. Begitu senior saya pernah menasihati kami. Dokter itu harus care dengan pasien-pasiennya. Belajar yang baik, supaya tidak ada ilmu yang terlewatkan. Bekerja teliti, jangan sampai hal-hal terkecil luput. Setiap hembusan napas adalah demi kepentingan orang lain. Ibadah yang kelak akan diganjar pahala oleh Alloh. Namun bisa menjadi dosa jika tidak mau menangani pasien dengan benar. Masalah bayaran? Lagi-lagi Atul Gawande menjelaskannya dengan sangat menarik dalam bab bukunya.
“Apabila profesi dokter adalah bisnis yang murni menukar jasa dengan uang, jika tidak ada bedanya dengan menjual mobil, lantas mengapa memilih pendidikan kedokteran selama dua belas tahun (enam tahun untuk kuliah S1 dan profesi, enam tahun lagi untuk spesialisasi termasuk tesis S2—apin), bukan malah misalnya sekolah bisnis dua tahun? Alasannya pasti karena setidaknya para dokter masih termotivasi oleh harapan untuk melakukan pekerjaan yang bermakna dan terhormat bagi masyarakat”.
Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?
(tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...
-
Pernah menjumpai bercak kemerahan, cenderung berwarna oranye (merah-)?bata) di popok bayi Anda? Bahkan muncul berulang kali! 😱 Normalkah ha...
-
Ternyata tidak pada sebagian besar kasus. Infeksi jamur penyebab sariawan terjadi pada anak-anak dengan daya tahan tubuh menurun, seperti m...
-
Topik ini sepertinya sudah lebih dari sekali saya bahas, dalam thread yang berbeda. Tapi tak apalah, karena masih banyak yang bingung juga. ...