Monday, March 21, 2005

Tentang Perubahan Status RSUD menjadi PT... :(

Tulisan menarik, diambil dari Kompas 21 Maret 2005, memuat wawancara dengan dr. Hasbullah Thabrany:

Bukan Privatisasi untuk RSUD, tapi Otonomi dan Bersihkan Korupsi

BULAN September 2004 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengubah status tiga rumah sakit umum daerah menjadi berbentuk perseroan terbatas atau PT. Privatisasi terhadap RSUD Pasar Rebo (Jakarta Timur), RSUD Cengkareng (Jakarta Barat), dan RS Haji di Pondok Gede (Jakarta Timur) itu sebenarnya sudah mendapat persetujuan dari DPRD DKI periode 1999-2004.

NAMUN, privatisasi itu kini mengundang kritik, bahkan dari kalangan dalam rumah sakit sendiri. Tak heran kalau DPRD DKI periode 2004-2009 kemudian akan mengevaluasi kembali privatisasi itu dan bahkan kemungkinan akan membatalkannya.

Pemprov DKI dan DPRD beralasan, perubahan status dari RSUD menjadi PT itu untuk mengurangi anggaran. Sebab selama ini Pemprov DKI harus menyubsidi Rp 400 miliar lebih per tahun untuk tujuh RSUD yang ada. Selain itu, juga ada alasan untuk peningkatan profesionalisme.

Dengan perubahan status ketiga rumah sakit tersebut, sebagian subsidi bisa diberikan langsung kepada masyarakat miskin melalui Program Jaminan Pelayanan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK Gakin).

Meski masih banyak ditentang, Pemprov DKI sudah bertekad akan memprivatisasikan empat RSUD lainnya, yakni Tarakan, Budhi Asih, Duren Sawit, dan RSUD Koja. Tetapi belakangan diketahui bahwa keempat RSUD itu akan diubah menjadi Badan Layanan Umum (BLU), bukan PT.

Menanggapi pro-kontra mengenai privatisasi RSUD di DKI, Kompas mewawancarai Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany. Menurut dia, pelayanan kesehatan dan pembangunan fasilitas kesehatan merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Jika privatisasi terus dilakukan, itu berarti Pemprov DKI telah melemparkan tanggung jawabnya yang sudah diatur dalam undang-undang.

Berikut petikan wawancaranya yang berlangsung di Depok, akhir pekan lalu.

Kenapa Pemprov DKI seperti keberatan menyubsidi RSUD?

Memberi subsidi ke rumah sakit pemerintah itu kewajiban pemerintah. Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Bukan hanya masyarakat miskin saja, tetapi semua lapisan masyarakat. Kenapa begitu, karena orang sakit adalah orang yang terkena musibah atau bencana. Ketika sakit, orang tidak mampu untuk berproduksi atau mendapatkan penghasilan. Yang ada malah mengeluarkan uang hingga jutaan rupiah jika harus dirawat di rumah sakit. Orang kaya pun bisa jatuh miskin kalau sakit.

Pemerintah daerah berkewajiban memberikan pelayanan kesehatan karena secara sepihak pemerintah telah menarik pajak dari masyarakat. Masyarakat diwajibkan membayar pajak dan mereka tidak bisa mengelak dari pajak. (Sebagian) Uang pajak itu digunakan untuk menyubsidi rumah sakit pemerintah. Nah, kalau tidak mau mengucurkan dana lagi ke RSUD berarti pemerintah tidak bertanggung jawab. Semua negara mencari dana untuk membiayai rumah sakitnya, Pemprov DKI malah memutus aliran dana pemerintah ke rumah sakit.

Kalau itu kewajiban, kenapa pemerintah menyebutnya subsidi?

Istilah subsidi itu tidak benar. Dinamakan subsidi jika pemerintah memberikan bantuan dana untuk nonpemerintah. Pendanaan yang dilakukan pemerintah karena merupakan kewajibannya bukanlah subsidi. Misalnya saja, saya punya anak kemudian saya menyekolahkan anak saya, apakah itu bisa dibilang subsidi? Terus kalau anak saya sakit dan harus berobat ke dokter, apakah itu juga subsidi? Saya punya anak, jadi saya punya kewajiban menyekolahkan atau mengobatkan anak saya kalau sakit.

Pemda selama ini juga tidak pernah menyebutkan kata "subsidi" jika memberikan dana untuk kantor wali kota/camat. Tetapi kenapa untuk urusan rumah sakit pemda menyebutnya subsidi?

Pemprov DKI beralasan, privatisasi dilakukan agar pelayanan kesehatan di RSUD menjadi lebih profesional.

Rumah sakit menjadi tidak profesional karena persoalan manajemen. Kalau ada tikus di dalam rumah, apakah rumahnya harus dirobohkan terus diganti rumah baru. Kalau sudah ada rumah baru terus tikusnya masih ada bagaimana?

Menjadikan sebuah rumah sakit profesional tidak harus melalui privatisasi. Selama ini memang ada keluhan bahwa RSUD tidak leluasa mengelola keuangannya sendiri. Mau beli alat-alat medik saja harus mengajukan ke APBD yang kemudian menunggu persetujuan DPRD. Itu kelamaan. Kalau mau profesional dan efisien, rumah sakit diberi otonomi untuk mengelola keuangannya sendiri. Tetapi harus diawasi ketat dan akuntabel.

Privatisasi dilakukan karena RSUD dianggap rugi. Apanya yang rugi? RS Pasar Rebo itu tidak pernah merugi. Bahkan tahun 2004 rumah sakit itu bisa meraup untung Rp 40 miliar lebih. Kalaupun tidak diprivatisasi, rumah sakit tidak rugi kan?

HASBULLAH memang tidak setuju jika pemerintah menggunakan istilah "rugi" untuk rumah sakit pemerintah. Sebab, istilah rugi itu mestinya digunakan dalam kerangka bisnis. Padahal, pelayanan RSUD itu dalam rangka kewajiban pemerintah. Seperti halnya membayar gaji aparat negara, membangun fasilitas umum, membiayai DPRD, dan berbagai pendanaan perangkat pemerintah.

Ia juga mempertanyakan kenapa istilah "subsidi" dan "merugi" tidak pernah digunakan pemerintah untuk pembangunan sebuah jembatan, jalan, bahkan untuk pembangunan gedung SD dan puskesmas. Padahal, kalau dihitung secara ekonomi, fasilitas yang dibangun tersebut tidak menghasilkan uang yang bisa menutup biaya operasionalnya. "Kita telah terkecoh, mana yang menjadi kewajiban pemerintah dan mana yang menjadi kewajiban swasta," ujar Hasbullah.

Pemerintah menganggap, dengan privatisasi rumah sakit bisa mandiri secara finansial?

Privatisasi memang bisa membuat rumah sakit mandiri secara finansial. Tetapi duitnya dari mana? Tentu saja dari tarif. Tarif itu yang membayar siapa? Pasien kan? Jadi ujung-ujungnya yang menjadi korban adalah masyarakat. Mereka harus membayar mahal tarif yang telah ditentukan. Terus kalau semua rumah sakit diprivatisasi, apa kewajiban pemerintah?

Katanya, uang subsidi rumah sakit sebesar Rp 400 miliar akan dialihkan ke JPK Gakin. Dengan cara seperti itu, pemerintah memberikan subsidi langsung ke masyarakat dan bukan ke rumah sakit.

Pemda selalu bicara Gakin. Itu berarti Pemprov DKI hanya menjamin penduduk miskin saja. Padahal, kesehatan adalah hak dasar manusia. Dana JPK Gakin yang dimiliki Pemprov DKI sekarang hanya Rp 100 miliar. Apa cukup? Dana tersebut hanya cukup untuk menjamin kesehatan 8,5 persen penduduk DKI. Padahal jumlah penduduk paling mampu (kaya) hanya 20 persen dari penduduk DKI. Itu berarti 80 persen adalah penduduk dengan penghasilan biasa saja. Kalau yang bisa dijamin hanya 8,5 persen, lalu bagaimana dengan yang 71,5 persen?

Kalau orang jatuh sakit, dia bisa mendadak miskin karena seluruh tabungan, bahkan rumahnya, bisa digunakan untuk biaya berobat. Terus kalau duitnya habis dan tidak bisa berobat lagi bagaimana? Di situlah fungsi pemerintah dan rumah sakitnya.

Sebanyak 8,5 persen penduduk termiskin memang dilindungi JPK Gakin. Sedangkan 70-80 persen penduduk dengan tingkat hidup menengah mampu melindungi diri kalau ada pengobatan ringan. Tetapi kalau perlu perawatan rumah sakit dan pengobatan berat, penduduk yang jumlahnya 70-80 persen ini tidak mampu bertahan.

Di Malaysia dan Taiwan bisa terjadi transformasi bentuk rumah sakit karena pemerintah menanggung semua biaya berobat. Di Malaysia, orang berobat ke rumah sakit pemerintah hanya membayar tiga ringgit atau Rp 6.000 per hari. Harga itu sudah termasuk biaya rawat inap, ICU, operasi, dan lain-lain.

Dokter yang praktik di rumah sakit tersebut harus full time. Mereka digaji penuh, nilainya sekitar Rp 10 juta-Rp 20 juta. Tetapi mereka tidak boleh praktik di tempat lain. Ada sanksinya. Sebetulnya Pemprov DKI sanggup membayar dokter sebesar itu. Jumlah dokter yang praktik di satu rumah sakit berapa sih?

Mana yang lebih bagus? Subsidi ke rumah sakit atau langsung ke masyarakat melalui JPK Gakin?

Kalau subsidi langsung ke rumah sakit, cost-nya lebih murah. Tinggal kucurkan dana saja, selesai. Kalau melalui jaminan semacam Gakin, pemerintah harus mengeluarkan uang untuk keperluan survei, pendataan penduduk, pembuatan kartu Gakin, dan sebagainya. Subsidi langsung ke rumah sakit memang bisa dikorupsi, tetapi kenapa bukan koruptornya saja yang ditangkap?

Bentuk apa yang tepat kalau pemerintah tetap ngotot mengubah bentuk RSUD?

Semua ada kelebihan dan kekurangan. Tetapi semuanya tergantung dari manajemen. Untuk rumah sakit pemerintah, menurut saya, paling mudah berbentuk Badan Layanan Umum. Kelebihan BLU, rumah sakit itu masih tetap milik pemerintah. Namun pihak manajemen diberi keleluasaan untuk mengelola keuangannya sendiri. Tentunya dengan pengawasan ketat.

Gubernur (Sutiyoso-Red) sudah mau meninjau ulang pembentukan RSUD menjadi PT. Untuk RSUD lainnya, Pemprov DKI telah setuju menjadi BLU. Namun sekarang Pemprov DKI tengah menunggu peraturan pemerintah (PP) tentang BLU sebagai petunjuk pelaksanaannya.

Apakah pemerintah mampu memberikan jaminan kesehatan bagi semua penduduknya?

Jaminan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat berasal dari masyarakat itu sendiri. Ke depannya, kita akan membuat Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang harus diikuti oleh semua penduduk Indonesia, baik dia kaya maupun miskin. SJSN ini digunakan untuk memberi jaminan pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia. Iurannya diperhitungkan secara proporsional. Kemungkinan besarnya adalah lima persen dari pendapatan. Untuk penduduk paling miskin, premi dibayarkan oleh pemerintah. Besarnya Rp 5.000.

Bagaimana dengan masyarakat yang memiliki penghasilan tidak tetap?

Mereka juga harus ikut. Besarnya iuran bisa diperhitungkan dari rata-rata pendapatan harian/bulanan mereka. Semua masih dihitung formulanya. Target awalnya sekarang adalah masyarakat dengan penghasilan tetap terlebih dulu. Jika semua sudah ikut SJSN, seluruh penduduk Indonesia berhak mendapat pelayanan kesehatan gratis atau murah di rumah sakit pemerintah. Dengan mengikutsertakan semua penduduk, ada semacam subsidi silang dari penduduk kaya untuk penduduk miskin.

(LUSIANA INDRIASARI)

No comments:

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...