Wednesday, February 01, 2006

A Day in The Life (It’s an Ordinary Day… just Like Any Other Days)

I read the news today oh boy,

about a kucky man who made the grade,

and though the news was rather sad,

well I just had to laugh,

I saw the photograph…


Woke up, fell out of bed,

dragged a comb across my head,

found my way downstairs and drank a cup,

and looking up I noticed I was late…


Potongan syair lagu The Beatles, yang menginspirasi judul di atas.


Ya… itu memang satu hari yang biasa saja dalam hidupku. Bangun pagi, belum sempat menikmati istirahat panjang setelah pulang agak larut, kemudian pagi harinya diminta menggantikan dinas teman sejawat. Untungnya tidak perlu waktu lama untuk menerobos Pasar Ciputat yang belum begitu macet. Kadang stres juga menyetir sendirian melewati jalanan ini.


Hari bergulir agak siang. Seorang ibu berumur 38 tahun masuk ruang periksa. Senyum kecil merekah di wajahnya yang terbalut kerudung. Ia mengenaliku, begitupun sebaliknya. Berarti dalam satu kunjungan, aku yang memeriksanya, mungkin. Kupastikan melalui layar monitor mencari namaku dalam kunjungan terdahulu.


Ada keluhan apa, Bu?” kata-kata sakti pembuka anamnesis* terucap.

Kepalanya sakit. Kuminta perawat untuk memeriksa tekanan darahnya: 110/70. Normal. Kubaca catatan rekam mediknya di komputer: tidak ada riwayat hipertensi. Apakah ibu pakai kacamata, tanyaku. Tidak, jawabnya.

Mungkin saya masih sedih setelah anak laki-laki saya meninggal,” ujarnya. Ekspresi wajahnya mulai berubah. Tampak beberapa tahun lebih tua.

O, ya?” nada bertanya yang kadang terdengar agak melecehkan.

Iya, Dok, yang meninggal di LKC tiga bulan yang lalu.”

Aku berpikir keras, berusaha mengingat-ingat. Kutunjukkan ekspresi wajah seolah-olah aku ingat, padahal tidak. Siapa ya? Aku familiar sekali dengan wajah sang ibu. Tapi… sudahlah.

Sekarang anaknya yang ada berapa?”

Dua. Laki-laki semua.”

Tuh, alhamdulillah masih ada dua, laki semua pula,” maksudku untuk menghiburnya.

Kuberi saran bahwa keluhan nyeri kepalanya adalah akibat stres pikiran, dan untuk meredakannya adalah dengan menenangkan pikirannya yang masih bersedih, sambil menyerahkan kertas resep berisi obat pereda nyeri yang diminum jika perlu saja. Yee… itu sih semua orang juga tahu, batinku.


Aku bermaksud memanggil pasien berikutnya. Catatan rekam mediknya belum terdokumentasi dalam sistem jaringan komputer, masih tertulis di kertas status pasien biasa.

Suami saya, Dok. Dia sakit kepala, tapi tidak bisa datang,” ibu di hadapanku otomatis menyahut, seolah-olah tahu aku akan memanggil nama suaminya.

Aku agak kecewa, karena ada riwayat hipertensi tertulis di rekam mediknya. Seharusnya ia datang untuk memeriksakan tekanan darahnya. Bisa saja nyerinya berhubungan dengan tekanan darahnya.

Dia sakit sekali, sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Saya nggak bisa membawanya. Boleh minta obatnya kan, Dok?” si Ibu memohon.

Sebenarnya aku tidak setuju. Menurutku jika hanya sekedar sakit kepala, setelah minum obat pereda nyeri, ia pasti dapat memaksakan diri untuk datang ke LKC.

Ongkosnya mahal, Dok,” lagi-lagi si Ibu mampu menebak isi kepalaku. “Dari rumah ke sini naik angkot Rp 2500. Pulang-pergi Rp 5000. Belum ongkos ojeknya. Dari rumah ke luar harus naik ojek, karena agak jauh.”

Aku kembali tertegun. Ini hal yang biasa, sebenarnya. Banyak orang yang sakit (bukan sekdar batuk-pilek, atau nyeri kepala biasa) dan harus memeriksakan diri ke Puskesmas atau layanan kesehatan lainnya, namun dengan alasan tidak punya ongkos, mereka datang dalam keadaan penyakit lanjut.

Kasihan, Dok. Bapaknya sakit. Siapa yang cari uang dalam keadaan seperti ini. Cobaan apa lagi yang saya terima ini…” Bulir-bulir air mata mengalir turun dari kedua kelopak matanya. Suaranya bergetar.


Duh… jangan sampai ibu ini menyesali nasibnya. Hidup dalam kemiskinan, ditinggal mati anak laki-laki tertuanya, plus kepala keluarga yang tidak produktif dalam mencari nafkah akibat sakit.

Jangan nangis ya, Bu. Sabar ya, Bu. Kutunjukkan empatiku padanya. Banyak orang yang sama susahnya dengan ibu, batinku. Ibu tidak sendirian. Malah ada yang lebih susah dari ibu. Tentu saja ini tidak kuucapkan. Kuakhiri dialog dengan memberikan resep juga untuk suaminya.


Hari yang biasa bagiku di sini. Berhadapan dengan kaum dhu’afa dengan segala persoalan hidupnya. Mungkin sebuah acara di Trans TV yang judulnya menurutku amat berkesan tidak mensyukuri nikmat akan berucap: “Kejamnya Dunia”.


Tidak sampai selang sejam, seorang ibu berusia awal tiga puluhan masuk menggendong seorang bayi, dan anak perempuan berumur empat tahun berjalan lincah di sisinya.

Pemandangannya tidak biasa. Si bayi tergeletak lemah dengan selang tipis menjulur keluar dari salah satu sisi lubang hidungnya. Namanya naso gastric tube (NGT) atau “pipa” hidung-lambung, sebuah selang elastis yang dimasukkan dari lubang hidung terus mencapai lambung. Fungsi utamanya untuk memasukkan makanan cair atau obat pada pasien yang kesadarannya menurun, dapat juga menguji adanya perdarahan atau zat racun dalam saluran cerna dan “membilasnya”.

Aku membaca catatan rekam medik, yang terakhir menunjukkan “datang untuk mengganti NGT”. Ternyata balita yang sudah berumur 14 bulan ini didiagnosis oleh dokter anak “mengalami” ensefalitis (aku tidak boleh menuliskan “menderita”, karena akan dimarahi jika ketahuan seorang dosen Ilmu kedokteran komunitas masa kuliah dulu), suatu peradangan dalam jaringan otak, dapat disebabkan oleh virus, bakteri, atau penyebab lainnya. Tidak ditulis dalam statusnya. Yang jelas kesadarannya tidak membaik sampai saat ini, sehingga si anak tidak mampu menerima respon dari lingkungan luar, sekalipun untuk refleks sederhana seperti menelan makanan atau minum melalui mulutnya. Itu alasan NGT senantiasa terpasang, dan diganti setiap dua minggu sekali, menghindari kolonisasi bakteri penyebab penyakit dalam selangnya.

Jujur saja, aku yang sudah terbiasa melihat pasien sakit berat, masih merasa kasihan melihatnya. Kuminta ia bergeser ke meja tindakan, dengan bantuan seorang perawat, selang hidung-lambungnya diganti dengan yang baru. Si anak menangis karena merasa tidak nyaman. Refleks nyerinya masih bekerja dengan baik. Agak sulit juga memasang NGT pada batita yang kesadarannya sukar diuji. Kekhawatiran terbesar adalah selang salah masuk ke batang paru-parunya, dan mampu menyebabkan kekurangan oksigen berujung pada kematian. Tetapi ada prosedur yang dapat mencegah kesalahan ini.

Anaknya masih belum bisa apa-apa ya, Bu?” tatapku pada si ibu yang tingginya kira-kira sepuluh sentimeter lebih rendah. “Maksudnya jika dimasukkan makan ke dalam mulutnya, ia akan mengecap-ngecap merasakan ada sesuatu.”

Kadang-kadang bisa,” jawabnya singkat sambil menunduk, terus menatap anaknya. Melihat ukuran sang anak, lebih kecil dari batita seusianya.

Dapatnya susu apa, Bu?”

LLM,” lagi-lagi masih menundukkan kepalanya, tidak menatapku.

Ibu tolong lihat saya dong, kok nunduk terus,” ucapku halus. Maksudku ingin menangkap perasaan si ibu secara penuh. Jika dia mengalami suatu masalah dengan si anak, keluarkanlah semuanya saat ini juga. Aku ingin menangani semua kasus yang kuhadapi secara menyeluruh. Apakah ibu ini memang pemalu.


Ternyata si anak pernah dirawat sampai satu bulan di sebuah RS swasta dan pemerintah. Tidak ada perkembangan yang berarti selama perawatan, hanya saja kesadarannya sedikit lebih membaik. Ia boleh dibawa pulang dengan NGT senantiasa terpasang untuk memastikan asupan makanan terus masuk. Berat badannya hanya 5,6 kg dengan umur 1 tahun 2 bulan. Gizi buruk tentunya.

Aku penasaran dan memeriksa beberapa refleks lainnya. Kuarahkan lampu senter menyorot kedua bola matanya secara bergantian. Negatif. Tidak ada refleks cahaya sama sekali. Pupilnya tidak mengecil. Kemungkinan besar si anak juga mengalami kebutaan.

Bu, anaknya bisa mendengar suara ibu, tidak? Misalnya kalau dipanggil ia akan merespon.” Aku tidak langsung menyampaikan hasil pemeriksaanku barusan, melainkan mengajukan pertanyaan lain.

Sang ibu—masih menundukkan kepalanya—tampak ragu-ragu. “Kadang-kadang bisa,” jawabnya. Ia tampaknya ingin menanyakan maksud pertanyaanku.

Bu, sepertinya anaknya juga tidak bisa melihat. Barusan saya tes pakai cahaya, tidak ada responnya.”

Deg, kata-kata ini meluncur begitu saja dari mulutku. Sudah menjadi kebiasaanku menyampaikan keadaan pasien sejelas mungkin pada dirinya atau keluarganya, tentu dengan cara sehalus mungkin, melihat situasi dan kondisi. Aku berasumsi si ibu sudah tahu keadaan anaknya sejak dirawat sebulan lamanya dari dokter-dokter spesialis anaknya, termasuk kemungkinan buta dan tulinya. Seharusnya dokter yang dulu merawat sudah menyampaikannya.


Bener, Dok?” suaranya bergetar. Kali ini menatapku. Matanya merah, seolah-olah mulai meleleh, dan mengalirlah air matanya. Hidungnya pun memerah. Ia kembali menunduk, dan mengeratkan dekapannya pada si anak. Seolah-olah sang anak akan pergi meninggalkannya.


Oh, tidak, lagi-lagi aku membuat dua orang menangis hari ini. My fault, yes, it’s my fault. But she should’ve known this from her paediatricians. How come they didn’t tell her before? Or maybe she has already known, but my statement emphasized her worriness. Her belief for so long, that her daughter would be just fine.


Sudahlah, sekalian saja kusampaikan semuanya.

Bu, dulu kata dokter anaknya, dia dapat pulih seperti sediakala tidak?”

Saya nggak nanya,” jawabnya.

Iya, Bu, kalau menurut saya, sepertinya akan sangat sulit untuk kembali pulih seperti anak-anak sehat lainnya,” jelasku jujur. Ia harus tahu sejak saat ini, daripada kesedihan berlarut di kemudian hari. “Tapi lebih pastinya, ibu konsultasi saja dengan dokter spesialis anaknya,” seraya kubuatkan lembar konsultasi bagi relawan dokter spesialis anak di sini, “ini saya buatkan pengantarnya. Yang penting untuk saat ini, dia mendapatkan makanan cukup, dijaga kesehatannya jangan sampai sakit. Perkiraan saya tadi belum tentu benar, lho. Anak-anak ibu yang lain tidak ada yang mengalami sakit seperti ini kan?”

Ternyata tidak ada riwayat penyakit serupa pada kakak-kakaknya. Balita dengan ensefalitis (aku kurang yakin juga dengan diagnosisnya) ini adalah anak ketiga, dengan dua anak pertama yang sehat-sehat.


Selanjutnya si anak dipindahkan ke meja konsultasi gizi, mengingat adanya penyerta gizi buruk, yang perlu mendapatkan penanganan tersendiri. Dari anamnesis dengan ibu ahli gizi kami, diketahui bahwa suaminya adalah sopir pribadi. Selama ini susu masih mampu terbeli dari penghasilan suaminya.


Bandingkan saja dengan pasien berikutnya hari itu. Seorang ibu yang mengeluh panas-dingin sehabis kehujanan, ketika sedang mencari kayu. Ya, mencari kayu bakar. Ia bekerja sebagai seorang pencari kayu bakar. Inilah member LKC, dengan segala kedhu’afan yang dimilikinya. Wajar saja ia diterima sebagai anggota dan mendapatkan pelayanan kesehatan gratis 100% jika sakit (ongkos transportasi ke rumah tidak ditanggung).


Menjelang waktu dzuhur, seorang bayi lain datang dengan sumbing bibir dan langit-langit (labiopalatoschizis). Ia member baru, belum pernah memeriksakan diri sebelumnya ke LKC. Apa lagi maksud kedatangannya selain meminta bantuan untuk operasi bibir sumbing gratis.


Bayi berusia 7 bulan ini mempunyai berat badan bagus, bahkan cenderung agak obese. Anaknya pun sangat ceria, dan kooperatif saat diperiksa. Aku menjelaskan untuk operasi, dokter bedah plastik di sini mensyaratkan berat badan minimal 10 kg. Artinya kurang empat kilogram lagi untuk si kecil. Masalah yang ada sekarang adalah: si bayi menghabiskan cukup banyak susu bubuk SGM 2. Satu kotak bisa ludes dalam dua hari saja. Penghasilan si ayah berbadan lebih tinggi dan lebih besar dariku yang berprofesi sebagai satpam di sebuah yayasan Islam terkemuka di Jakarta Selatan sebesar Rp 300 per bulan tidak mampu menanaggungnya (ini kalimat majemuk banget ya, tidak mengikuti kaidah ekonomi kata!). Dengan berat hati aku menyampaikan bahwa LKC tidak mampu menanggung semua biaya member, misalnya dalam pengusahaan susu. Kasus yang lebih umum, jika tidak ada ASKES GAKIN dan SKTM, LKC tidak akan mampu membiayai operasi seluruh member-nya di RS rujukan. Sayang sekali dulu si ibu yang sempat mampu memerah susunya untuk ditampung dalam botol dengan dot khusus ini sudah ‘kering’ ASI-nya. Padahal menurutku, ASI yang berdasarkan pada prinsip ‘on-demand’ ini tidak akan kering selama ibu rajin memerah dengan teknik yang benar, sepenuh hati. Ya, bandingkan saja dengan gaji si ayah yang habis untuk membelikan susu salah satu anaknya, dari empat anak yang dimilikinya.


There are times I find it hard to sleep at night
We are living through such troubled times
And every
child that reaches out for someone to hold
For one moment they become my own


And how can I pretend that I don't know what's going on?
When every second, and every minute another soul is gone?
And I believe that in my life I will see (oh yea) an end to hopelessness, of giving up, of suffering


If we all stand together this one time
Then no one wil be left behind
Stand up for life
Stand up and hear me sing
Stand up for love


Aku cukup terkesan dengan lagu hits yang dinyanyikan Destiny’s Child ini. Pertama kali melihat klip videonya sebagai lagu tema “Peduli Kasih Indosiar”. Setiap menyaksikan di TV, atau mendengar lantunan syair dan iramanya di radio dalam mobil, aku terbayang pada pasien-pasien kecilku di LKC yang bernasib kurang-lebih sama dengan mereka yang ditayangkan dalam video tema.


Yeah… if we all stand up together for love, then no one will be left behind. I’ve passed so many ordinary days with hopeless and suffered people, so that I’m afraid I’ll lose my empathy, and judge those as ordinary things not to be worried. Too many poor people in this country. Too many hopelessness and suffering around me. But the deepest side of my heart isn’t dead already.


It’s just a day in the life. And I’ll still go through these days. With love and care to others. Hopefully.


Menulis dalam mood sehabis bertemu lagi dengan kasus bayi dengan bibir sumbing yang menderita bronkopneumonia berulang, kemarin lusa. Menyaksikan ekspresi kesedihan dari sang ibu, serta kasih sayang tulus dari sang ayah mengajak komunikasi anaknya yang cacat, memberikan perasaan syukur atas nikmat Alloh yang luar biasa.


There are places I remember, all my life

Though some have changed

Some forever not for better

Some have gone, and some remain…


Though I know I’ll never lose affection

For people and things that went before

I know I’ll often stop and think about them

In My Life.. I Love Them All (The Beatles).


*dialog antara dokter dengan pasien untuk mengeksplorasi keluhan dan mencapai suatu kesimpulan diagnosis

No comments:

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...