Thursday, January 17, 2008

Perlukah Audit Medik?

Beberapa hari yang lalu, seorang ayah dari bocah 18 bulan yang pernah saya temui di tempat praktik menelepon. Anak laki-lakinya ini tiba-tiba saja muntah berturut-turut sampai empat kali, hingga tidak tersisa makanan di dalam lambungnya, dan yang keluar hanya cairan kuning saja. Ia panik, dan segera menghubungi ponsel saya, menanyakan apa yang sedang terjadi pada anaknya, apa yang harus ia lakukan, dan bisakah ia menemui saya hari itu. Setelah mendengar keterangannya, saya minta ia mengobservasi muntah anaknya, dan sebisa mungkin memberikan larutan elektrolit tiap habis muntah. Saya katakan ini bukan suatu kegawatdaruratan, dan kemungkinan terbesar adalah infeksi virus seperti gastroenteritis virus, atau food poisoning. Tak lama berselang, sebuah SMS darinya muncul di ponsel saya, yang menyatakan bahwa anaknya masih terus-menerus muntah, tidak mau minum apapun, dan seperti setengah sadar. Karena harus segera pergi ke tempat tugas, saya balas saja, “Kalau Bapak khawatir anaknya mengalami dehidrasi berat, bawa saja ke RS”.

Sore hari pulang dari RS, si Bapak kembali meng-SMS: “Dok, anak saya dirawat di RS, dan sedang diperiksa darahnya di laboratorium”. Saya segera balas, dirawat dengan indikasi apa, belum kena infus kan?

Cerita berlanjut. Saat ini ia masih mengalami perawatan hari ke-3. Sudah tidak muntah-muntah lagi, tanpa demam, dan segar bugar ingin segera pulang. Masalahnya adalah, dokter yang merawat mendapatkan hasil uji Widal-nya (yang saya tidak tahu untuk apa diperiksa, tapi saya pikir RS ini punya kebijakan untuk memeriksakan lengkap lab darah tanpa alasan jelas) dengan titer positif yang cukup signifikan. Si bocah masih dirawat dengan selang infus menancap yang berulang-kali lepas, dan dua jenis antibiotika diberikan lewat infus dan minum biasa. Ini semua cerita dari sang ayah. Saya sama sekali belum melihat kondisi anak secara langsung. Diagnosis perawatannya adalah tifoid, yang anehnya menurut saya, tanpa demam sama sekali, dan keadaan klinis si anak tidak sesuai dengan diagnosis. Sebagai dokter, saya selalu menekankan pada diri sendiri untuk tidak mengobati hasil lab. Yang dihadapi oleh dokter adalah si manusia sakit, bukan hasil laboratoriumnya. Semua keadaan yang tidak sesuai antara klinis dan hasil pemeriksaan penunjang harus dihadapi dengan tanda tanya besar, dan segera dicaritahu jawaban definitifnya. Satu hal yang jelas, pemeriksaan Widal memiliki sensitifitas yang rendah di negara endemik tifoid ini. Kalau memenuhi kriteria klinis untuk demam tifoid, ya periksa saja kultur feses atau darahnya (gal culture). Ini adalah pemeriksaan baku emas untuk tifoid, dibandingkan Widal. Kecuali si dokter tidak mendapatkan ilmu seperti ini di bangku kuliah spesialiasinya. Keadaan janggal lainnya adalah indikasi memberikan cairan dan obat lewat selang infus, padahal si anak memiliki toleransi makan dan minum yang sangat baik. Saya benar-benar tidak habis pikir.

Jujur saja, satu pertanyaan lalu muncul di benak saya: apakah memang profesi dokter diciptakan untuk saling membenci dan berprasangka buruk satu sama lain, karena dalam menghadapi satu pasien saja bisa berlainan assessment dan tata laksananya? Kita semua lulus dari fakultas kedokteran yang menggunakan buku ajar dan referensi yang kurang lebih sama. Mudah-mudahan kondisi dokter di dunia nyata seperti ini bukan didorong oleh motivasi mendapatkan keuntungan dari memberikan obat tanpa alasan jelas, karena si dokter akan mendapatkan kompensasi materi dari peresepan obat ini. Atau memanfaatkan kepanikan orangtua yang seharusnya mau belajar mengenai dasar-dasar kesehatan, sehingga kasus tanpa indikasi rawat inap pun dirawat juga. Lihat saja laporan dari berbagai negara tingginya angka kematian akibat infeksi nosokomial di RS, karena pasien mendapatkan obat yang seharusnya tidak ia dapatkan, dan dipasang selang infus yang berpotensi iatrogenik memasukkan kuman langsung ke jalur peredaran darah.

Teman saya mengomentari isi pikiran ini dengan: “makanya harus dilakukan audit medik. Selama tidak ada audit medik, kejadian seperti ini akan terus berlangsung”. Ya, tentu saja kawanku, dan nanti para konsumen kesehatan akan menguak dugaan-dugaan malpraktik lewat cara ini.

Daripada pusing memikirkan perselisihan dan saling tikam antar dokter (dengan maksud yang baik atau tidak, entahlah), saya mengajak seluruh konsumen kesehatan yang tidak memiliki latar belakang ilmu kesehatan untuk lebih peduli dan mau menggali informasi kesehatan lebih dalam. Jadilah pasien yang aktif, selalu kritis terhadap tindakan dokter. Sangat mudah saat ini mendapatkan informasi mengenai apa itu infeksi, kapan antibiotika harus diberikan, apa saja indikasi rawat inap, dan kapan saya harus ke dokter.

Dalam sebuah sesi ceramah, seorang peserta pernah bertanya pada saya, setelah saya memberikan kuliah mengenai apa itu layanan kesehatan terbaik: “Apakah Anda hanya ingin menjadi pahlawan kesiangan?”. Membeberkan semua cerita ini, mengeluhkan kondisi teman-teman sejawat, memposisikan diri mampu menjadi role model bagi konsumen, namun hanya sebatas ini saja?

Perjalanan masih panjang. Guru saya bilang, “It takes two to tango”. Ada kemitraan yang baik antara dokter dan konsumen kesehatannya. Tentunya setelah konsumen mengetahui hak.. dan kewajibannya. Guru besar medikolegal juga berpesan agar para dokter spesialis tidak sekedar mengurusi hal-hal klinis saja, tapi ada yang terjun ke masyarakat membenahi masalah ini. Pastinya ada orang-orang seperti ini di berbagai pelosok negeri. Butuh napas panjang, perencanaan matang, semangat untuk tidak mudah berputus asa, dan tentu saja dukungan dari konsumen kesehatan.

No comments:

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...