Thursday, October 22, 2009

Carut-marutnya sistem rujukan kita

Yah, Menkes baru telah dilantik. Tapi saya tidak ingin membahas masalah ini. I don't know her already. Laporan jaga pagi dua hari terakhir, dengan moderator sang bintang iklan imunisasi (Dr STP) Depkes-IDAI, menunjukkan keprihatinannya mengenai buruknya model rujukan kesehatan di negara ini.

Seorang anak laki-laki, enam tahun, mengalami demam sejak dua minggu silam, pertama kali datang ke sebuah klinik, menemui dokter praktik, dan disimpulkanlah diagnosisnya: "sakit tipes". Rawatlah barang sehari-dua, pasang infus, suntik antibiotika, demam mulai reda, si anak pun pulang ke rumah. Tak sampai 24 jam berselang, demam kembali melanda. Kini saatnya mencari pertolongan dokter spesialis, demikian terlintas dalam benak sang ibu. Dokter sepesialis melakukan eksplorasi lebih dalam. Ini bukan tipes, begitu jelas dokter melihat hitungan sel darah putih yang mendekati 50.000. Ini kanker sel darah putih. Harus dirawat. Segera rujuk ke eR-eS-Ce-eM. Simpulan dokter spesialis yang begitu blak-blakan membuat orangtua takut. Apa lagi keluhanmu, Nak? Pandanganku kabur. Telingaku sakit. Si anak dibawa ke dokter spesialis mata. Katanya ada kelainan saraf mata akibat sel kanker. Keesokannya di ibu membawa ke dokter THT. Telinga anak ini banyak kotorannya. Banyak sekali masalah anakku ini. Ibu semakin khawatir. Akhirnya ia membawa anaknya setelah dua minggu lebih demam. Diagnosis di IGD: leukemia akut dengan hiperleukositosis dan sindrom lisis tumor.

Ini hanya satu contoh doctor shopping--atas inisiatif orangtua tentunya--dengan (mungkin) kelalaian menangkap masalah sejak anak pertama kali datang ke dokter, ditambah (mungkin lagi) komunikasi yang kurang informatif, sehingga orangtua terlambat membawa anaknya ke pusat rujukan.

Masih banyak contoh lain seorang pasien berputar-putar membawa anaknya dari satu dokter ke dokter lain, tanpa informasi gamblang mengenai diagnosis penyakit anaknya, tanpa penekanan kapan harus dirujuk ke pusat yang lebih tinggi--jika memang perlu, dan akhirnya tiba di rumah sakit rujukan tempatku bekerja, dengan kondisi berat. Terlambat. Kami hanya mendapatkan tubuh yang telah diacak-acak sebelumnya. Tidak banyak yang bisa kami lakukan, meskipun bekerja dengan fasilitas terlengkap dan pakar ahli terbanyak di seantero negeri.

Bagaimana solusinya?

--bersambung, harus segera tiba di IGD untuk menangkap bayi-bayi yang keluar dari rahim ibu-ibu yang dirujuk dari berbagai sudut Jabodetabek

1 comment:

Unknown said...

BAnyak pasien2 yg dtg ke klinik ga mau dirujuk dok.. sy sering diomel2in keluarga pasien krn meminta mereka untuk lgs ke rs.. alhasil mereka mencari dokter klinik lain bhkan ada yg jadi ke mantri atu bidan.. walaupun ada juga orang tua yang mengerti dan lgs bw anaknya ke rs..

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...