Thursday, January 17, 2008

Kalau Anak Sakit, Berobat ke Dokter Anak atau ke Dokter (Umum)?

Pertanyaan ini saya baca di sebuah buku yang diterbitkan oleh sebuah tabloid anak ternama ibukota. Menarik sekali. Salah satu bagian buku itu menulis: “Apakah anak harus dibawa ke dokter spesialis anak (dr, SpA) ataukah cukup ke dokter umum (dr,) saja?” Jawaban di buku: “bila di sekitar rumah ada dokter spesialis anak (DSA) atau kita membayar dokter yang lebih memahami penyakit anak, sebaiknya anak dibawa ke dokter spesialis anak saja. Sebab, DSA lebih memahami masalah penyakit pada anak, karena mereka sudah dibekali ilmu lebih banyak dibandingkan dokter umum biasa. Diharapkan, dengan pemahaman yang lebih tinggi, anak bisa tertangani lebih baik”. Dst dst.

Bagaimana menurut Anda jawaban di atas? Ini pendapat saya pribadi. Dokter menjalani pendidikan selama 6 tahun mulai dari ilmu kedokteran dasar sampai penerapannya pada manusia, dan tata laksana penyakit-penyakitnya. Termasuk ilmu kesehatan anak. Jawaban di atas agak klise (ngambang) menurut saya. Karena bisa saja orang memahami bahwa dokter (umum) kurang tepat dalam menangani masalah kesehatan anak. Bawa saja langsung ke spesialis. Lalu apa yang sudah dipelajari dokter umum enam tahun lamanya?

Dokter spesialis dibentuk untuk menangani kasus-kasus yang tidak dapat ditangani oleh dokter (umum). Artinya, dokter memiliki kompetensi dasar untuk semua kasus, mulai dari kasus kesehatan anak, penyakit dalam, kebidanan-kandungan, bedah, dst. Namun ada kasus-kasus rujukan yang harus ditangani oleh dokter spesialis. Makanya setiap profesi memiliki standar kompetensinya masing-masing. Jika dokter umum melakukan hal-hal di luar standar kompetensinya, maka bisa terjerat pasal dalam Undang-undang Praktik Kedokteran tahun 2004. Mayoritas kasus kesehatan anak di masyarakat adalah penyakit harian (common problems) seperti demam, batuk-pilek, mencret/diare, dan masih banyak lagi yang tentunya cukup ditangani dokter umum. Namun jika ada masalah kecurigaan penyakit jantung bawaan, gangguan perkembangan, keganasan, dan banyak kasus rujukan lain, tentu prosedurnya adalah dokter merujuk ke dokter spesialis. Tapi tak dapat dielakkan memang di Indonesia konsumen kesehatan bisa memilih untuk datang langsung ke dokter spesialis tanpa melalui dokter umum terlebih dahulu. Beda dengan di negara-negara maju. Dengan kata lain, mekanisme referral system (rujukan) memang belum berjalan di negara kita. Pun tak dapat dipungkiri apa yang tertanam dalam pemahaman masyarakat perkotaan umumnya adalah, datangi langsung dokter yang sesuai dengan spesialistiknya, tanpa harus ke dokter umum terlebih dahulu, jika mampu (bayarnya).

Sampai-sampai guru-guru yang mendidik calon dokter anak di sekolah saya bilang, ”Jangan sampai kamu nanti lulus cuma jadi spesialis batuk pilek mencret”. Itupun juga ngobatinnya masih nggak benar, timpal guru saya yang lain. Sakit ringan diresepkan antibiotika tidak sesuai indikasi. Dalam hati saya pun membalasnya, habis mau gimana lagi, yang datang ke dokter anak kebanyakan memang kasusnya batuk pilek mencret.

Lalu kalau anak sakit gigi, apakah langsung ke dokter gigi anak (drg, SpKGA) atau cukup ke dokter gigi umum (drg,) saja? Buku itu menjawab: “sebaiknya ke dokter gigi anak, karena mereka dibekali pengetahuan mengenai spesifikasi pertumbuhan dan perawatan gigi anak. Pendidikan spesialis dijalani selama 3-4 tahun bla bla bla”

Lagi-lagi, ini opini saya pribadi. Melihat istri saya yang dokter gigi umum, saya jadi tahu persis kemampuan seorang dokter gigi (umum) dalam menangani kasus-kasus gigi anak. Pengalaman menata laksana ratusan siswa SD dalam UKGS di beberapa sekolah di pelosok Sumatera saat PTT, dan menghadapi pasien-pasien anak di bawah lima tahun di praktik rumah, membuat saya memahami kompetensi mereka. Tetapi tentu saja, selalu ada kasus-kasus yang harus ditangani SpKGA. Dokter gigi harus merujuk kasus-kasus ini ke sejawat spesialis mereka.

Those are all my personal opinion. Saya sama sekali tidak mengajak pembaca untuk menjauhi dokter spesialis dalam kunjungan pertama. It’s all up to you. Yang saya ajak adalah agar para pasien (baca: konsumen kesehatan) menjaga dokter tetap bertindak rasional. Tidak jarang pasien minta diberikan obat padahal dokter merasa tidak perlu. Cukup sering konsumen kesehatan minta resep antibiotika padahal dokter sudah menjelaskan bukan indikasinya. Khawatir kehilangan pasien, dokter pun kadang “tunduk” pada keinginan kliennya ini.

Pelajari dasar-dasar ilmu kesehatan dengan baik. Ajak diskusi dokter anak dengan bekal ilmu ini. Alasan lain pentingnya mempelajari dasar-dasar ilmu kesehatan ini adalah orangtua menjadi tahu, kapan sih harus ke dokter. Pada akhirnya, konsumen kesehatan memahami bahwa batuk-pilek, mencret, demam tanpa gejala berat, dan masih banyak penyakit lain sebenarnya tidak perlu dibawa ke dokter sama sekali. Ke dokter umum sekalipun. Just wait and observe, gejalanya akan self limiting (hilang sendiri). Ini sudah terbukti pada banyak sekali orangtua yang memiliki kemauan kuat belajar ilmu kesehatan, dan mempraktikannya pada diri sendiri dan keluarganya. Mudah-mudahan layanan kesehatan negara kita menjadi lebih baik kelak. Amin.

(btw, yang nulis sedang menempuh pendidikan untuk jadi dokter spesialis anak, hehehe)

7 comments:

Andri Journal said...

Saya tinggal di daerah pedesaan,tidak ada dokter anak di daerah sini.Dokter anak praktek di kota yg jaraknya kira2 satu jam perjalanan!
Pertanyaan pun menjadi:"berobat ke bidan atau ke dokter umum?".Masyarakat di daerah kami malah lebih sering mengobatkan anaknya ke bidan,dan bila belum sembuh2 jg baru datang ke dokter.Berobat ke bidan ternyata banyak jg yg sembuh kuq (saya tidak tahu apakah bidan dulu jg mempelajari ilmu kesehatan anak atau gak).
Salam kenal. ^_^

indrakus said...

selama sistem kesehatannya masih seperti pasar bebas gini, yang punya uang tetep akan pergi ke spesialis. jadi indra sebagai dr umum sangat mendukung program dokter keluarga dan sistem referal termasuk rujuk balik.

Titah Rahayu said...

setuju... saya termasuk yang selalu menganjurkan siapa pun (diri sendiri juga tentunya) untuk berobat ke dokter umum dulu...

jejaklangkah24 said...

membaca tulisan anda : Jika dokter umum melakukan hal-hal di luar standar kompetensinya, maka bisa terjerat pasal dalam Undang-undang Praktik Kedokteran tahun 2004.

masak kalau dokter umum nengobati pasien anak-anak mencret bisa dikenakan pasal ini???

ya sesuai proporsinya lah. kalo sampai mengobati kelainan jantung bawaan jelas bisa. tapi kalo hanya batuk pilek mencret... ya dokter umum lah yang berhak nenangani. hehehe. salam

jejaklangkah24 said...

ya saya setuju. silahkan mampir ketempat prakten saya di drhandri.wordpress.com

Pipit said...

duh, terima kasih banyak informasinya. buanyak sekali info penting yang saya dapat di sini. salam kenal, pak dokter :)

nikolay said...

Bro klo mslh ims yg bnr ke dokter umum ato kelamin ato urology?bingung nih sakit g sembuh2

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...