Saturday, December 14, 2013

Mana yang lebih efektif: DPT atau DPaT?

Banyak orangtua khawatir anaknya mengalami demam pasca imunisasi DPT, sehingga mereka lebih memilih DPaT/DaPT/DTaP sebagai vaksin yang "tidak panas". Benarkah demikian? Vaccine information statement dari CDC menyatakan risiko demam pada anak yang mendapatkan vaksin DPaT dapat mencapai 1 dari 4 anak. (sumber: http://www.cdc.gov/vaccines/hcp/vis/vis-statements/dtap.html). Artinya: sebenarnya tidak ada vaksin yang bebas demam 100%.

Lebih lanjut lagi, wabah pertusis yang terjadi di negara lain, Amerika Serikat khususnya, membuat peneliti kembali mengevaluasi efektivitas vaksin DPaT. Perlu diketahui, AS dan banyak negara lain di Eropa dan Australia sudah tidak menggunakan DPT (baca: whole cell pertussis vaccine--menggunakan bakteri pertusis utuh) lagi, tetapi menggunakan DPaT (baca: acellular pertussis vaccine--hanya menggunakan sekitar 3 komponen dari bakteri pertusis). Di AS sendiri, penggantian ini sudah dilakukan sejak tahun 1992, sedangkan di negara kita Indonesia, Bio Farma masih memproduksi DPT (kombinasi dengan Hepatitis B dan Hib) dan tersedia juga alternatif vaksin impor DPaT (tunggal, dan kombinasi dengan Hib, atau Hib-IPV).

Inilah beberapa kesimpulan yang mungkin bisa membantu orangtua membuat keputusan: vaksin mana yang akan digunakan?

- Vaksin DPT (whole cell) lebih melindungi seseorang dari kemungkinan terkena pertusis dibandingkan dengan DPaT (acellular). Fakta ini dibuktikan dari penelitian terbentuknya antibodi terhadap pertusis (pada penderita) menggunakan alat PCR, seperti diungkapkan di jurnal Pediatrics tahun ini (sumber: http://pediatrics.aappublications.org/content/early/2013/05/15/peds.2012-3836.full.pdf). Keunggulan vaksin DPT ini juga disimpulkan di jurnal Clinical infectious Disease tahun ini (sumber: http://cid.oxfordjournals.org/content/early/2013/03/05/cid.cit046.abstract).

- Durasi (jangka/lamanya) proteksi vaksin DPaT lebih singkat dibandingkan DPT dalam mencegah sakit pertusis. Interval waktu dari kapan terakhir mendapatkan imunisasi DPaT juga memengaruhi risiko seorang remaja/dewasa terkena pertusis di kemudian hari. (sumber: http://jama.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=1456072). Untuk itu, pemberian imunisasi booster jangan sampai terlewat. Sejauh ini rekomendasi imunisasi di Indonesia memberikan vaksin DPT/DPaT terakhir di usia 5-6 tahun. Mulai usia 7 tahun ke atas, dan jadwal imunisasi booster/ulangan di usia 10-12 tahun adalah imunisasi dT yang tidak mengandung pertusis. Di AS sendiri sudah menggunakan Tdap sebagai booster untuk usia tersebut/remaja/dewasa. Di Indonesia, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai insidens pertusis pada remaja dan dewasa.

- Bagaimanapun juga, vaksin DPaT tetap efektif melindungi bayi dan balita dari sakit pertusis. Cochrane yang dikenal sebagai sumber meta-analisis menyimpulkannya. (sumber: http://summaries.cochrane.org/CD001478/acellular-vaccines-for-preventing-whooping-cough-in-children).

- Lebih lanjut lagi, penelitian yang terakhir dipublikasikan menunjukkan vaksin pertusis aselular mampu mencegah sakit, tetapi tidak mencegah infeksi (tertular) dan penyebaran kuman Bordetella pertussis. Penelitian ini memang baru dilakukan pada hewan percobaan (sumber: http://www.medscape.com/viewarticle/815247).

Artikel lain yang juga bagus untuk dibaca ada di sini: http://www.medscape.com/viewarticle/777012_1

Nah, kini selaku orangtua, silakan memutuskan vaksin mana yang akan Anda gunakan: DPT atau DPaT. Semoga membantu dan bermanfaat.

Apin

No comments:

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...