Sunday, January 14, 2018

Apa sebenarnya “RUM” itu?


"Dok, minta rekomendasi dokter yang RUM dong!" 
Tidak jarang saya dimintai jawaban atas permintaan di atas. Memangnya apa definisi RUM? Idealis? Tidak pelit bicara? Tidak gampang kasih obat? Atau baik hati dan tidak sombong?

Rational use of medicine yang biasa disingkat RUM adalah terminologi yang dibuat oleh WHO sejak tahun 1985 dan mencakup definisi:

- pasien mendapatkan medikasi (tidak saya bilang obat ya, supaya kesannya ke dokter tidak harus pulang bawa obat) sesuai kebutuhan klinis alias diagnosisnya
- dosisnya sesuai kondisi individual
- lama pengobatan harus tepat
- biayanya paling murah!

Yuk kita kupas satu-satu, secara singkat saja

Definisi pertama mengharuskan kesesuaian antara DIAGNOSIS dan terapi. Artinya, kalau berobat dan dapat terapi, ya harus sesuai. Jangan sampai diagnosisnya A, dapat terapinya B. Makanya, biasakan bertanya ke dokter: apa diagnosisnya, ketika mendapat obat atau terapi lain. Kebiasaan ini juga membuat konsumen kesehatan bisa belajar lebih lanjut tentang diagnosis sakitnya, dan kesesuaian terapi. 

Hal lain adalah mendapatkan informasi diagnosis yang jelas dan tegas! Tidak ada lagi diagnosis "abu-abu" seperti "gejala tipes", "gejala DBD", "flek paru", "tampek", atau "radang tenggorokan". Tegas saja: tifoid atau bukan, DBD atau bukan, TB atau bukan, roseola atau rubella atau campak, dan strep throat atau bukan. 

Definisi kedua dan ketiga menunjukkan terapi itu sifatnya individual. Bahkan saudara kembar yang sakitnya sama pun bisa jadi obatnya berbeda. Pada anak, dosis obat ditentukan terutama dari berat badan, meskipun pada kemasan obat yang dijual bebas seperti parasetamol sirup misalnya, dituliskan dengan umur.

Pelajaran lainnya adalah tidak dibenarkan saling bertukar obat, khususnya untuk obat-obatan yang memang harus dengan resep dokter, antara satu orang dengan orang lainnya. Misalnya pada percakapan di bawah ini:

"Bu, saya udah 3 hari sakit gigi. Belum sempat ke dokter gigi. Enaknya minum obat apa ya?" tanya seorang Ibu ke Ibu lainnya, sambil menunggu anak mereka pulang sekolah.
"Kemarin saya sempat punya keluhan yang sama, Jeng. Lalu saya ke dokter gigi dan dikasih amoksisilin. Setelah dua hari minum obat dan enakan, saya stop antibiotiknya. Sekarang masih ada sisa, buat Jeng aja. Siapa tahu enakan habis minum amoksisilin punya saya," Si Ibu di sebelahnya menanggapi.

Hayo... silakan evaluasi, apa saja kesalahan dalam percakapan di atas? Yak, betul! Tidak menghabiskan antibiotik atas petunjuk dokter, dan bertukar obat sembarangan. Padahal antibiotik lho!

Definisi terakhir menunjukkan bahwa obat yang paling murah belum tentu tidak berkualitas. Ya,obat generik pun sama kualitasnya dengan obat bermerek. Maka dokter yang mengikuti prinsip RUM akan memberikan obat generik.

Ada RUM, ada juga IRUM, alias irrational use of medicine. Nah, contoh-contoh IRUM ini banyak sekali. Sebagian sudah pernah dibahas.

Tinggal sesuaikan dengan prinsip-prinsip yang ada saja kan? 😊



No comments:

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...