Sampai kapan dianggap wajar? Mengapa anak mengompol? Bagaimana mengatasinya?
Mengompol (bedwetting/nocturnal enuresis) masih dianggap wajar sampai anak berusia 7 tahun. Meskipun sejak usia 1 tahun, anak sudah dapat dibiasakan untuk tidak mengompol. Apakah wajar ketika seorang anak misalnya saat ini sudah berusia 11 tahun dan mengompolnya berlangsung sejak bayi dan belum pernah bisa dihentikan (primer), atau sudah pernah selama minimal 6 bulan tidak mengompol, lalu kembali mengompol (sekunder)? Terlepas dari kedua hal ini, ternyata 1 dari 100 remaja masih mengompol, dan harus dicaritahu apa penyebabnya, agar dapat dberikan solusinya.
- Gangguan hormonal, yaitu kekurangan hormon antidiuretik (antidiuretic hormone atau ADH) dapat menyebabkan produksi urin yang berlebih di malam hari, termasuk saat tidur, dan menjadi mengompol.
- Gangguan di kandung kemih (buli-buli), yaitu kontraksi (gerakan mengencangkan) otot kandung kemih yang berlebihan dapat menyebabkan organ ini tidak bisa menampung volume urin sesuai seharusnya, sehingga mudah merasa ingin berkemih dan mengompol saat tak tertahankan. Sebagian remaja dan dewasa juga ternyata mempunyai ukuran kandung kemih yang relatif lebih kecil dibandingkan orang-orang lain.
- Genetik atau keturunan. Orangtua yang dulunya mengalami hal serupa dengan anaknya, saat mereka berusia remaja, maka anaknya pun bisa mengalami keluhan yang sama. Gen terkait mengompol ini masih diteliti.
- Masalah tidur, yaitu yang menyebabkan seorang remaja tidur sangat pulasnya, hingga sukar terbangun, meskipun seharusnya ke kamar mandi untuk buang air kecil.
- Konsumsi kafein, misalnya sering minum kopi, sehingga frekuensi buang air kecil pun meningkat.
- Beberapa penyakit yang menyebabkan enuresis sekunder, misalnya diabetes, kelainan struktur organ saluran kemih, sembelit (konstipasi), dan infeksi saluran kemih (ISK). Diabetes diketahui dengan pemeriksaan laboratorium gula darah, sedangkan ISK diketahui lewat pemeriksaan urinalisis (air seni). Adanya cedera tulang belakang (korda spinalis) akibat terjatuh atau kecelakaan lalu lintas juga dapat menyebabkan enuresis sekunder, karena pengaturan proses berkemih yang melibatkan jalur saraf di tulang belakang.
- Stres psikologis, misalnya akibat perceraian orangtuanya, kematian orang yang dicintainya, pindah rumah atau sekolah, atau masalah keluarga.
Apa yang bisa dilakukan ketika menghadapi remaja mengompol?
- Jangan banyak minum sebelum tidur, dan tentunya biasakan buang air kecil tepat sebelum tidur. Minuman seperti cokelat, kopi, teh, dan soda masuk dalam daftar yang harus dihindari saat malam hari. Ketika bangun tidur di pagi hari, biasakan segera ke kamar mandi untuk buang air kecil. Jika diperlukan, bangunkan anak/remaja 1 kali saja saat tidur malam hari untuk pergi ke kamar mandi, lalu segera kembali tidur.
- Gunakan teknik “imajinasi positif” (positive imagery), yaitu sejak saat sebelum tidur, seorang anak/remaja membayangkan dengan yakin bahwa ia akan terbangun keesokannya dengan “kering” (tidak basah akibat mengompol). Bisa juga dengan memberikan penghargaan (reward) kepada diri sendiri ketika mampu bangun tidur tidak mengompol.
- Gunakan alarm mengompol (bedwetting alarms) untuk membangunkan anak/remaja. Cara kerjanya adalah: alarm menyala ketika kasur mulai basah akibat air seni, dan diharapkan anak segera terbangun untuk mematikan alarm dan pergi ke kamar mandi, sebelum kasur makin basah akibat anak meneruskan mengompol. Alat ini memang belum banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia, tetapi dapat dibeli lewat toko online. Tidak jarang anak yang mengompol tidak segera terbangun meskipun alarm sudah berbunyi kencang, dan butuh waktu untuk membiasakan dengan kerja alat ini, termasuk harus dibangunkan oleh orangtuanya. Kunci keberhasilannya adalah: membiasakan diri segera bangun, ketika mulai merasa harus buang air kecil. Atau membiasakan kemampuan menahan keinginan berkemih sampai saatnya bangun tidur.
- Ketika semua cara di atas tidak berhasil, maka obat yang bisa diberikan oleh dokter berupa imipramine (cara kerjanya belum jelas) atau desmopressine (ADH sintetis yang cara kerjanya menyerupai ADH sesungguhnya). Kelemahan obat-obatan adalah risiko berulangnya keluhan, ketika obat dihentikan.
(Tulisan ini pernah dimuat di rubrik tumbuh kembang Majalah Ummi yang ditulis oleh dr. Arifianto Apin)
(Gambar diambil dari http://www.sittercycle.com/wp-content/uploads/2014/07/bigstock-Bed-Wetting-2155652.jpg)
No comments:
Post a Comment