Tuesday, January 30, 2018

Mengenal Japanese encephalitis

Lagi rame penyakit Japanese encephalitis (JE) ya? Perlukah kita mendapatkan vaksinnya?

Prinsip pertama bagi seorang dokter, menurut saya, adalah JUJUR. Jadi menyampaikan informasi tentang suatu kondisi haruslah utuh. Misalnya saja tentang penyakit JE. Permintaan vaksin ini sepertinya sedang meningkat. Apakah masyarakat sudah utuh pemahamannya tentang penyakit ini? Penyedia layanan vaksinasi pun harus utuh memberikan informasi tentang penyakit ini. Jadi kesannya tidak sekedar “jualan” vaksin saja. Membaca jadwal imunisasi IDAI 2017 (seperti di gambar) termasuk keterangannya ya. Di situ tertera jelas bagi siapa vaksin JE diberikan.

Mengenal Japanese encephalitis

Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun dikabarkan meninggal dalam keadaan mengenaskan akibat virus bernama Japanese encephalitis (JE). Sebelum menghembuskan napas terakhir, anak ini mengalami perburukan kondisi yang cukup cepat, kejang, dan mengeluarkan darah dari mulut dan hidung. Pesan singkat yang berisi kisah tragis ini menyebar di kalangan para ibu beberapa waktu lalu. Sebagian menjadi panik dan meminta agar anaknya mendapatkan vaksin JE. Apakah sebenarnya penyakit ini? Berbahayakah? Perlukah anak-anak kita mendapatkan vaksinnya?

Virus Japanese encephalitis

Virus Japanese encephalitis (JE) adalah golongan flavivirus, sama halnya dengan virus Dengue, yellow fever, dan West Nile. Virus ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk terutama golongan Culex. Sebagian besar orang yang terinfeksi virus ini tidak mengalami gejala apapun. Hanya kurang dari satu persen orang yang memiliki virus JE dalam tubuhnya mengalami gejala-gejala, seperti demam, sakit kepala, dan muntah-muntah di awal sakit, lalu berlanjut menjadi penyakit mematikan yang disebut ensefalitis akut. Peradangan di jaringan otak ini bergejala perubahan status mental/perilaku, defisit neurologis (misalnya kelemahan/kelumpuhan anggota tubuh), sampai kejang dan kematian. Angka kematian akibat ensefalitis JE mencapai 30%. Cacat saraf permanen atau kelainan kejiwaan/psikiatri sebesar 30-50%. 

Masa inkubasi, yaitu periode sejak masuknya virus sampai munculnya gejala penyakit, adalah 5- 15 hari. Sebanyak 24 negara di Asia Tenggara dan Pasifik Barat masuk dalam daerah endemis JE, sehingga membuat lebih dari 3 milyar orang berisiko tertular penyakit ini. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan melaporkan sebanyak 326 kasus JE pada tahun 2016. Kasus terbanyak dilaporkan di Propinsi Bali sebanyak 226 kasus (69,3 persen). Tingginya kasus JE di Bali dihubungkan dengan banyaknya persawahan dan peternakan babi di daerah tersebut, mengingat nyamuk Culex banyak terdapat di area persawahan dan irigasi.

Di daerah endemis, yaitu lokasi dengan kasus penularan/infeksi tinggi, orang dewasa yang terinfeksi virus JE kebanyakan tidak mengalami gejala (tidak menjadi sakit), dan justru memperoleh kekebalan/imunitas alamiah. Anak-anak adalah kelompok yang rentan sakit, sesuai data sebanyak 85% kasus yang dilaporkan tahun 2016 adalah kelompok usia di bawah 15 tahun. Penyakit ini tidak ada obatnya. Sama halnya dengan kebanyakan penyakit akibat infeksi virus, seperti Dengue (DBD), yang penanganannya bersifat suportif, seperti menjaga kecukupan cairan dan mencegah dehidrasi, serta mengawasi risiko terjadinya komplikasi berat seperti ensefalitis, dan menanganinya sesuai gejala-gejala yang muncul.

Untunglah saat ini sudah tersedia vaksin JE untuk mencegah penyakit ini. Awalnya vaksin JE dikhususkan bagi para pelancong/wisatawan yang akan berkunjung ke daerah endemis JE. Vaksin disuntikkan sebanyak 2 kali dengan interval/selang waktu sebulan antar vaksin, dan selambat-lambatnya 10 hari sebelum memasuki daerah endemis. Pada bulan September 2017 mendatang, Kementerian Kesehatan akan mulai memberikan vaksin JE bagi anak berusia 9 bulan sampai 15 tahun, di 9 kabupaten/kota di Bali, dengan sasaran 897.050 anak. Program yang dinamakan kampanye imunisasi JE ini akan dilanjutkan dengan memasukkan imunisasi JE ke dalam jadwal imunisasi rutin anak berusia 9 bulan (bersamaan dengan imunisasi campak/rubella), di daerah-daerah yang dinilai endemis JE. 

Ikatan dokter anak Indonesia (IDAI) memasukkan imunisasi JE ke dalam jadwal terbarunya (tahun 2017) untuk diberikan pada usia 12 bulan, dan diulang 1 – 2 tahun berikutnya untuk memberikan perlindungan jangka panjang. Anak-anak yang akan berkunjung memasuki daerah endemis JE juga disarankan mendapatkan vaksin JE. 

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menjelaskan lebih detil kriteria pelancong yang perlu mendapatkan vaksin JE, yaitu:
- bukan yang berkunjung untuk waktu singkat (kurang dari 1 bulan), tetapi untuk yang akan berada di daerah endemis JE selama lebih dari 1 bulan, atau 
- yang akan berkali-kali mengunjungi daerah endemis, meskipun dalam tiap kunjungannya tidak mencapai 1 bulan. 

Mereka yang akan memasuki daerah endemis untuk waktu singkat tetap disarankan mendapatkan vaksin JE sebelumnya apabila: 
- daerah tersebut sedang mengalami wabah JE, 
- pelancong tidak yakin lokasi mana saja di daerah tersebut yang akan dikunjunginya, dan 
- pelancong menghabiskan banyak waktunya di daerah persawahan atau pedesaan khususnya malam hari, atau berada di luar ruangan (berkemah, mendaki gunung, atau aktivitas outdoor lainnya), atau berada di daerah endemis selama periode penyebaran virus meskipun kunjungannya singkat.

Pencegahan lain yang bisa dilakukan adalah menggunakan lotion anti nyamuk (repelan) berisi DEET, IR3535, pikaridin, atau minyak ekaliptus lemon. Kenakan pakaian berlengan panjang, celana panjang, dan kaos kaki untuk menghindari gigitan nyamuk. Juga kurangi aktivitas di luar ruangan di sore/malam hari dan saat suhunya lebih dingin.

Upaya memastikan diagnosis JE diawali dengan kecurigaan terhadap gejala-gejala yang ada, khususnya ketika terjadi ensefalitis, ditambah dengan pemeriksaan laboratorium khusus untuk memastikan keberadaan virus JE di dalam tubuh.

(Gambar diambil dari http://outbreaknewstoday.com/wp-content/uploads/2017/09/21314593_1709763445701567_4389493826546397559_n.jpg)

Tulisan dr. Arifianto, Sp.A ini pernah dimuat di rubrik Tumbuh Kembang Majalah UMMI tahun lalu.





No comments:

Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?

 (tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018) "Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi...